Kembali kepada Allah
KEHIDUPAN dunia sejatinya adalah
perjalanan manusia menuju atau kembali kepada Allah, asalnya. Namun, manusia
sering kali lupa diri dan tujuannya, karena tergoda nikmatnya kehidupan dan
gemerlapnya dunia. Oleh karena itu, Allah mengingatkan dalam Alquran, “Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya.” (QS az-Zumar
[39]: 54)
Manusia tidak tahu ia akan
dilahirkan di mana, atau siapa yang melahirkannya. Namun, ada fitrah dalam
dirinya yang telah ditetapkan Allah. Bahwa ia hidup untuk tujuan tertentu, dan
oleh karena itu ia akan melewati sebuah jalan ke arah itu. Ada kesadaran dalam
dirinya tentang Allah, Sang Penciptanya. Namun, kehidupan dunia sering kali
membuatnya lupa segalanya. Ia lupa dari mana berasal dan akan ke mana ia
berjalan.
Allah dan Rasulullah
mengingatkan dan menegaskan, manusia pada hakikatnya tengah berjalan menuju
Allah. Dunia, kata Rasulullah, hanya sekadar tempat berteduh, persinggahan
sementara, sebelum lanjut ke tujuan akhir: Allah. Rasulullah bersabda, “Bagaimana
aku bisa mencintai dunia? Sementara aku di dunia ini tak lain, kecuali seperti
seorang pengendara yang mencari tempat teduh di bawah pohon untuk beristirahat
sejenak, lalu meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi)
Dikisahkan, Jabir bin Abdullah
pernah bersama Rasulullah. Tiba-tiba datang laki-laki berwajah cerah, berambut
rapi, berpakaian serba putih. Kemudian, ia berkata kepada Rasulullah, “Salam,
wahai Rasulullah. Apakah arti dunia ini?” Beliau menjawab, “Seperti impian
orang yang tidur.” Ia bertanya lagi, “Apakah surga itu?” Beliau menjawab,
“Sebagai ganti dunia bagi mereka yang mencarinya.” Ia kembali bertanya, “Siapa
sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “Orang yang mentaati Allah.” Ia bertanya
lagi, “Bagaimana sikap yang baik di dunia ini?” Beliau menjawab,
“Berkemas-kemaslah seperti orang yang mengejar kafilah.” Ia bertanya lagi,
“Berapa jarak antara dunia dan akhirat?” Beliau menjawab, “Sekejap mata.”
Setelah itu, ia pun pergi dan tidak kelihatan lagi. Rasulullah bersabda kepada
para sahabat, “Laki-laki itu adalah Jibril. Ia datang untuk menjauhkanmu dari
dunia dan mencintai akhirat.” (HR al-Hakim)
Allah adalah tujuan sesungguhnya
perjalanan manusia. Kesadaran ini akan menjadikan perjalanan manusia lebih berarti
dengan banyak beribadah dan beramal saleh. Berarti tidak hanya bagi dirinya,
tetapi juga orang lain. Ia akan berjalan di muka bumi dengan menebarkan
kebaikan pada apa pun. Bahkan, pada orang yang berbuat jahat atau ingin
mencelakakannya. Seluruh anggota badannya didedikasikan untuk kebaikan, karena
itulah yang akan dipersembahkan kepada Allah ketika ia bertemu dengan-Nya.
Tak ada manusia yang sempurna.
Dalam perjalanan di dunia akan ada kesalahan dan kekeliruan. Namun, seperti
kata Nabi, sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat dan memperbaiki
diri. Selain itu, Allah juga Maha Pemaaf dan Pengampun. Dia juga Maha
Penyayang. Dia akan selalu menyeru hamba-Nya, mengingatkannya untuk kembali
kepada-Nya dengan jiwa yang tenang, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr [89]: 27-30)
Imam Hasan al-Bashri mengatakan,
“Kembalilah kamu kepada balasan Tuhanmu dan kepada pemuliaan-Nya dalam keadaan
rida dengan apa yang Allah sediakan untukmu, dan Allah pun rida terhadap
dirimu.” Imam al-Baghawi dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, “Wahai jiwa
yang tenang terhadap dunia, kembalilah kepada Allah dengan meninggalkan dunia
tersebut. Kembali kepada Allah dengan menempuh jalan menuju akhirat.” Kembali
kepada Allah bukan sekadar pulang tanpa membawa apa-apa, melainkan kembali
dengan bekal amal saleh di dunia. Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Penulis dan pedagang di Jajan Buku
Republika, Kamis 8
November 2018
Komentar
Posting Komentar