Rajin Bekerja
ORANG beriman wajib berikhtiar mencari rezeki yang halal,
juga dengan cara yang halal juga. Ia mesti rajin bekerja sebagai wujud dari
ikhtiar itu, dan tidak boleh bersikap malas-malasan.
Nabi bersabda, “Pendapatan yang
terbaik dari seseorang adalah dari hasil jerih payah tangannya sendiri.” (HR
al-Bukhari dan Muslim). Pada hadis lain, beliau pernah melihat seorang
laki-laki yang kulit tangannya kasar karena rajin bekerja untuk menafkahi keluarganya.
Lalu beliau bersabda, “Tangan
ini amat dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Nabi memuji orang yang rajin bekerja dan tidak menyukai
orang yang malas, yang hanya menunggu keajaiban dari langit.
Nabi, manusia yang paling dekat dengan Allah dan menjadi
Rasul-Nya, pernah ditawari oleh Malaikat Jibril bahwa dia akan mengubah bukit
Uhud menjadi emas untuk beliau, tetapi beliau menolaknya (HR at-Tirmidzi).
Selain sederhana, beliau tidak ingin apa yang beliau
dapatkan begitu saja, cuma-cuma, tanpa usaha, tanpa capek, apalagi dengan cara
meminta-minta. Dengan ini, beliau mengajarkan orang beriman untuk tidak malas
bekerja atau berusaha.
Ibnu Mas’ud, salah satu sahabat dekat Nabi, pernah
mengatakan, “Aku melihat seorang pemuda yang membuatku kagum. Lalu, aku
bertanya kepada orang-orang mengenai pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa ia
tidak bekerja. Seketika itu, pemuda tersebut jatuh martabatnya di mataku.”
Ibnu Mas’ud mencela pemuda itu karena ia malas, tidak
berusaha menjemput rezeki Allah. Padahal, secara fisik pemuda itu sehat dan
kuat. Ini berkebalikan dengan pemuda berkulit tangan kasar yang dipuji Nabi
karena bekerja untuk menafkahi keluarganya di atas.
Nabi memuji orang yang rajin
bekerja, sebaliknya mencela orang yang malas bekerja. Beliau sampai berdoa agar
dijauhkan dari kemalasan ini.
Zaid bin Arqam menuturkan bahwasanya Rasulullah pernah
berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas, dari
rasa takut, pikun, dan bakhil. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur
dan fitnah hidup dan kematian.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Dar as-Sa’adah
mengatakan, kemalasan akan membuat seseorang menyia-nyiakan waktu,
berlebih-lebihan, tidak mendapatkan apa pun, dan sangat menyesal.
Apabila seseorang mengetahui bahwa kesempurnaan dan
kenikmatan pada sesuatu, tentu ia akan mencarinya dengan usaha dan keinginan
yang kuat. Jika ia malas, tentu tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
Orang yang mengetahui hal ini, ia pasti akan berusaha
keras mendapatkannya, karena ia tahu hanya dengan itulah jalannya. Orang yang
seperti ini tidak akan pernah malas. Orang malas tidak akan pernah mendapatkan
apa pun. Karena itulah, Nabi berdoa kepada Allah agar melindunginya dari rasa
malas.
Dalam kitabnya yang lain, Tuhfah al-Maudud, Ibnul
Qayyim menegaskan, hendaknya seseorang menjauhi rasa malas dan santai. Justru
dia mesti melawan rasa malas itu. Karena, rasa malas akan menghasilkan
penyesalan.
Sebaliknya, sungguh-sungguh akan berbuah manis, baik di
dunia maupun di akhirat. Orang yang paling berbahagia adalah yang paling capek,
dan orang yang paling capek adalah yang paling bahagia. Bahagia karena capeknya
memiliki makna dan manfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga orang
lain (keluarganya).
Itulah yang membuat Allah dan Rasul-Nya amat
mencintainya. Di akhirat, ia juga akan dibalas Allah dengan kebaikan yang
melimpah. Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Komentar
Posting Komentar