Pejabat Amanah Antikorupsi

DALAM Islam, jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Orang yang telah diberi jabatan untuk mengurusi masalah umum atau umat harus menjauhi perilaku-perilaku menyimpang, seperti korupsi dan menyalahgunakan jabatan dan wewenang untuk kepentingan diri dan keluarga. Ia harus mementingkan urusan umat sesuai dengan tugas yang diemban. 

Dikisahkan, Rasulullah pernah memberikan tugas untuk memungut zakat kepada seseorang dari suku Azdi bernama Ibnu Luthbiyah. Beberapa waktu kemudian, setelah dengan baik menunaikan tugasnya, Ibnu Luthbiyah menemui Rasulullah, lantas berkata, “Wahai Rasulullah, bagian ini untuk Anda, dan bagian ini untukku.” 

Melihat hal itu, wajah Rasulullah memerah karena marah. Di atas mimbar, di hadapan para sahabat, beliau bersabda, “Sesungguhnya aku telah memberikan suatu tugas sesuai perintah Allah kepadaku untuk aku sampaikan kepada seseorang. Kemudian, orang itu melaksanakannya, lalu ia datang lagi kepadaku sambil mengatakan, ‘Bagian ini untuk Anda, dan bagian ini untukku.’ Kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya hingga kelak harta itu datang kepadanya dengan sendirinya, seandainya dia itu memang benar!” 

Beliau melanjutkan pidatonya, “Demi Allah, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya kecuali dia akan menghadap Allah pada Hari Kiamat dengan memikul sesuatu yang bukan haknya yang ia ambil itu. Aku benar-benar tidak ingin kalian menghadap Allah dengan memikul unta yang melenguh, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik!” 

Beliau kemudian menengadahkan tangannya tinggi-tinggi ke atas, lalu berkata, “Ya Allah, aku sudah menyampaikan hal ini.” Beliau mengatakan hal itu tiga kali. (HR al-Bukhari dan Muslim) 

Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Fungsi zakat khususnya bagi pemberinya adalah untuk menyucikan/membersihkan harta, dengan cara membagikannya kepada orang-orang yang berhak. Allah berfirman, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS at-Taubah [9]: 103) 

Pada masa Rasulullah, beliau secara rutin mengirimkan beberapa orang sebagai petugas pemungut zakat. Harta zakat ini beliau salurkan untuk kepentingan umat. Allah menyebutkan orang-orang yang menerima zakat, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS at-Taubah [9]: 60) 

Zakat harus disalurkan kepada para mustahik. Rasulullah marah karena Ibnu Luthbiyah mengambil sebagian harta zakat itu untuk dirinya dan Rasulullah. Beliau jelas mencela hal itu sebagai bentuk penyimpangan. Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak menyalahgunakan tugas dan wewenang dengan mengambil yang bukan hak kita. Ini penting terutama untuk para pejabat dan pembuat kebijakan agar tetap amanah dan tidak berbuat korupsi sekecil apa pun. Wallahu a’lam.  

*Republika, Rabu 30 Oktober 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Hati Terpaut Masjid