Menjadi Pemilih yang Rasional
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI
sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 dilakukan pada 27 Juni
2018. Tahapan Pilkada itu sudah dimulai sejak Agustus lalu. Rencananya, ada 171
daerah yang mengikuti Pilkada 2018. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi,
39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018. Beberapa
provinsi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam
pagelaran atau hajatan demokrasi ini, rakyat diharapkan memilih calon secara
rasional, sehingga yang dilihat adalah gagasan, bukan atribut atau citra dari
calon yang kadang sudah di-setting oleh tim pemenangan.
Bicara soal rasionalitas,
Alasdair Maclntyre, misalnya, dalam Whose Justice? Which Rationality (1996)
mengatakan, tidak hanya ada satu rasionalitas atau satu keadilan, tetapi
rasionalitas dan keadilan dalam pengertiannya yang plural. Bertindak rasional
menurut sekelompok orang adalah bertindak berdasarkan kalkulasi biaya dan
keuntungan yang diperoleh dari berbagai alternatif kemungkinan tindakan dan
segala konsekuensinya. Menurut kelompok lain, bertindak di bawah
konstrain-konstrain akibat mempertimbangkan hak atau kepentingan pihak lain,
sehingga ia tidak bertindak secara bebas absolut. Menurut kelompok lain,
bertindak dengan cara tertentu untuk mencapai kebaikan umat manusia yang asasi
dan sesungguhnya.
Weber (1972) membedakan rasionalitas
nilai (value-rational) dengan rasionalitas tujuan (goal-rational).
Rasionalitas nilai diartikan sebagai orientasi aksi berdasarkan suatu
nilai, apakah itu etika, moralitas, agama, hal-hal yang bersifat estetika,
kesukaan, atau asal-usul. Rasionalitas seorang individu dinilai sejauh mana
individu tersebut mengambil keputusan atas nilai-nilai yang dia pegang, dan
bukan dari tujuan yang hendak dicapai. Adapun rasionalitas tujuan, di sisi
lain, diartikan sebagai orientasi keputusan dan aksi berdasarkan kesesuaian
dengan tujuan akhir, metode pencapaiannya dan konsekuensinya. Individu akan
dinilai rasional ketika keputusan dan aksinya mendukung tujuan akhir.
Evans dan Over (1997) membedakan
dua konsep rasionalitas. Pertama, rasionalitas sebagai berpikir,
berbicara, berargumen, mengambil keputusan, dan beraksi untuk mencapai tujuan
secara efisien dan efektif (R1). Rasionalitas jenis ini lebih mengedepankan
alasan-alasan pribadi guna mencapai tujuan personal. Kedua, rasionalitas
sebagai berpikir, berbicara, berargumen, mengambil keputusan, dan beraksi
berdasarkan sebuah sistem normatif tertentu (R2). Rasionalitas jenis ini lebih
menekankan pada seberapa besar derajat kesamaan (konformitas) antara keputusan
individu dengan “best-practice” yang terdapat dan diyakini kebenarannya
dalam masyarakat.
Adapun Chater et al.
(2003) membedakan rasionalitas kalkulasi dan rasionalitas deskripsi.
Rasionalitas kalkulasi didefinisikan sebagai proses berpikir yang menggunakan
teknik/metode probabilistik, logika dan proses pengambilan keputusan. Sementara
rasionalitas deskripsi diartikan sebagai derajat keputusan atau perilaku
dibandingkan dengan sebuah standar hasil yang ditelurkan rasionalitas
kalkulasi.
Beragamnya makna rasionalitas
menunjukkan banyaknya perspektif terhadap rasionalitas. Secara umum
rasionalitas dapat dipahami sebagai penggunaan nalar untuk menimbang-nimbang
sesuatu guna mencapai suatu tujuan tertentu yang baik bagi sang penalar itu
khususnya, maupun orang lain pada umumnya. Dalam konteks pemilu, pemilih rasional
berarti pemilih yang menggunakan hak pilihnya karena alasan rasional, bukan
karena alasan fanatisme, mistik, supranatural, metafisik atau gaib. Jadi,
masyarakat memilih suatu partai politik atau calon pemimpin karena tujuan
kebaikan yang ingin didapatkan ada pada partai atau calon yang diusung
partai-partai.
Rasional Memilih
Publik perlu memilih kandidat
pemimpin secara rasional, yakni menggunakan nalar untuk menimbang-nimbang
program apa, atau bagaimana kandidat itu memecahkan persoalan daerahnya saat
kelak menjabat. Sudah bukan waktunya lagi memilih berdasarkan pertimbangan
penampilan fisik atau gestur, karena bisa saja itu palsu dan menipu, atau
merupakan bagian dari strategi pencitraan yang sudah direncanakan, sebagai
bagian strategi politik. Kita tahu, semua politisi pasti akan melakukan
pencitraan. Tidak salah memang. Dalam banyak hal ini diperlukan para politisi,
setidaknya untuk menarik perhatian publik, apalagi di musim kampanye seperti
saat ini.
Tidak terlalu sulit sebetulnya
bagi publik untuk menilai seorang kandidat, apalagi yang sudah dikenal publik
di waktu sebelumnya. Publik sudah tahu apa yang telah terjadi pada
partai-partai itu dan para tokoh-tokohnya, juga kerja dan kinerjanya di
parlemen. Lima tahun terakhir ini, publik lebih banyak disuguhi drama-drama
menyesakkan dan mengecewakan. Ada partai yang jargonnya antikorupsi, nyatanya
tokoh-tokoh utamanya terlibat korupsi. Ada partai yang mengaku religius dan
bersih, nyatanya tersangkut kasus korupsi juga. Dan hampir seluruh partai ada
anggotanya yang tersangkut kasus korupsi.
Publik jangan lagi terjebak pada
slogan dan jargon dahsyat partai-partai politik yang punya rekam jejak buruk di
masa sebelumnya. Jika publik marah dan kecewa, inilah waktu yang tepat untuk
“menghukum” dengan tidak memilihnya. Bangsa ini perlu para politisi yang segar
dan punya spirit membangun dan memajukan bangsa dengan tulus dan
sungguh-sungguh, melalui program-program visioner yang solutif dan progresif,
yang mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara, di atas kepentingan
pribadi, golongan, apalagi kepentingan asing. Kunci utama saat ini ada di
tangan publik pemilih. Jika publik memilih bukan karena pertimbangan rasional,
bangsa ini kembali akan diisi para politisi yang sama-sama mengecewakan, dan
pemilu tidak punya makna apa-apa selain kesia-siaan. Ini tentu tidak
diharapkan.
*Nur Faridah
Investor Daily, Kamis 1 Februari 2018
Komentar
Posting Komentar