Parpol Baru dan Ekspektasi Publik
PEMILU 2019 akan diwarnai
beberapa partai-partai politik (parpol) baru, seperti Partai Solidaritas
Indonesia (PSI), Partai Perindo, Partai Berkarya, Partai Garuda, dan Partai
Bulan Bintang (PBB). Diprediksi, persaingan akan berlangsung ketat. Sebagian
karena kekecewaan terhadap partai-partai lama, dan mengalihkan dukungan ke
partai-partai baru dengan harapan mereka lebih baik dari partai-partai lama.
Sebagian ada yang kecewa dengan partai lama, lalu beralih ke partai lama
lainnya.
Baju baru
Munculnya partai-partai baru di
alam demokrasi seperti di negeri ini bukan hal mengejutkan. Ada begitu banyak
sebab partai-partai baru muncul. Bisa jadi karena pembuat partai baru kecewa
dengan partai lama, baik itu kecewa karena tidak mendapat tempat atau kalah
dalam pemilihan ketua partai maupun kecewa karena merasa partai lama sudah
tidak konsisten dengan garis ideologi perjuangan partai. Partai lama sudah
hanyut dalam politik pragmatis, semata-mata mengejar kekuasaan, sehingga
mengabaikan kepentingan konstituen atau publik yang mestinya diperjuangkan. Ini
yang umum terjadi. Para pendiri partai baru umumnya adalah eks politikus sebuah
partai politik.
Hal yang berbau “baru” biasanya
dianggap menjanjikan. Tentu saja, janji perubahan; perubahan ke arah yang lebih
baik. Hal yang sama dilakukan semua partai. Janji yang memikat publik memang,
meski sebenarnya publik juga tahu betul bahwa ini sekadar jargon, sama dengan
jargon-jargon perubahan partai-partai lainnya. Negara ini bukan sekali
menjalani proses politik pemilu. Publik juga maklum, janji perubahan itu
lantang di awal, tapi setelah itu sering kali hilang. Tak ada perubahan yang
terjadi. Elite terlalu sibuk dengan diri sendiri dan partainya.
Dengan kata lain, partai baru
itu sebetulnya hanyalah baru “bajunya” atau namanya. Isi tetap sama, karena
aktor-aktor politik yang bermain di situ juga sama: itu-itu juga. Jadi,
perubahan apa yang bisa diharapkan dari partai baru dengan aktor lama yang
terbukti tidak membawa perubahan sebelumnya? Karena itu, wajar jika sebagian
publik ada yang pesimistis, bahkan memilih golput dalam pemilu. Mereka memilih
golput dengan pertimbangan rasional. Pengalaman adalah guru terbaik mereka.
Pengalaman bahwa mereka telah “dibohongi” oleh janji-janji dalam kampanye,
karena terbukti janji-janji itu tidak dipenuhi. Para politikus lebih sibuk
memperkaya diri sendiri, lupa janji-janji mereka. Ironisnya, mereka kemudian
banyak yang terjerat korupsi. Publik memilih mereka, menitipkan amanat, tapi
mereka mengkhianatinya. Uang rakyat mereka curi.
Parpol memang salah satu pilar
negara demokrasi. Tanpa parpol, negara demokrasi bisa ambruk. Tidak ada negara
demokratis di dunia yang ambruk. Justru, negara-negara yang tidak demokratis
yang ambruk. Karena itu, tepat kiranya jika Francis Fukuyama menyebutnya dengan
“The End of History” (1992). Yang dia maksud adalah setelah Perang Dingin
selesai, sejarah dunia berakhir dengan demokrasi sebagai pilihan tunggal
negara-negara di dunia. Negara-negara komunis-sosialis satu demi satu menjadi
demokratis. Negara-negara di Timur Tengah, belakangan ini juga bergolak
menuntut demokrasi. Demokrasi memang menjanjikan, karena di situ rakyat sebagai
demos terlibat. Tapi, rupanya, negara-negara demokrasi juga banyak yang
korup. Dan, dari catatan, partai-partai politik termasuk di antara yang paling
korup. Ini masalahnya.
Tataran prosedural
Munculnya partai-partai baru,
“baju” baru, tapi isi sama, juga tidak lepas dari demokrasi kita yang masih berada
di tataran prosedural. Ketika negara ini berhasil menyelenggarakan pemilu di
masa transisi (1999), kemudian berlanjut pada 2004, dunia memuji kita sebagai
negara paling demokratis yang layak diteladani. Banyak pakar-pakar Indonesia
yang diundang untuk berbicara di forum-forum atau seminar internasional tentang
keberhasilan demokrasi kita. Bagaimana demokrasi kita bisa begitu sukses
melewati masa-masa kritis. Partai-partai politik menjamur setelah rezim Orde
Baru (Orba) runtuh. Trend itu berlanjut di pemilu 2004, lalu di pemilu 2009.
Belakangan, Undang-Undang membuat ambang batas (electrocal threshold)
untuk menekan banyaknya jumlah partai politik.
Para politikus sibuk membuat
partai-partai baru menjelang pemilu dengan keluar partai (loncat pagar), sampai-sampai
mengabaikan tujuan dari politik yang sesungguhnya. Orang kecewa dengan partai
lama, lalu membuat partai baru. Orang yang sudah berpartai, loncat ke partai
baru atau partai lama lainnya yang masih bertahan. Tidak banyak dari mereka
yang memikirkan substansi demokrasi dan politik.
Aristoteles, filsus Yunani
terkenal, pernah mengatakan bahwa tujuan politik sesungguhnya mulia, bahkan
paling mulia dari yang lainnya. Karena, hakikat politik adalah untuk mengabdi,
melayani, dan menyejahterakan rakyat, membuat rakyat bahagia, tidak menderita.
Ini tugas yang sangat mulia. Ini hanya dapat terjadi jika para politikus tidak
sekadar memikirkan prosedur demokrasi, seperti pendirian partai-partai baru,
tapi mengabaikan substansi. Jargon “perubahan” jelas masih abstrak. Publik
perlu bukti, bukan janji. Tapi sayangnya, baik itu partai politik lama maupun
baru, lebih sering ingkar janji. Semoga kali ini tidak.
*Nur Faridah
Penulis dan pedagang di Jajan Buku
Duta Masyarakat, Rabu 14
Maret 2018
Komentar
Posting Komentar