Bahagia dengan Berkurban

BEBERAPA hari lagi kita akan masuk bulan Zulhijah, salah satu bulan Haram dalam Islam, selain Muharam, Rajab, dan Zulqa’dah. Bulan Haram dalam tradisi Arab sebelum Islam, kemudian ditegaskan dalam Islam, adalah bulan mulia dan terhormat. Pada bulan Zulhijah, ada kewajiban berhaji yang merupakan rukun Islam kelima bagi yang mampu. Ada juga hari raya Idul Adha atau Idul Qurban, di mana orang mukmin dianjurkan untuk berkurban sapi atau kambing/domba. Allah berfirman, “Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS al-Kautsar [108]: 2)

Dalam hadis disebutkan, Nabi bersabda, “Tidak ada amalan yang dilakukan manusia pada hari Nahar (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah selain daripada mengucurkan darah (hewan kurban). Karena sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR at-Tirmidzi dari Aisyah)

Seperti disebutkan pada hadis ini, hewan yang dikurbankan kelak di akhirat akan datang kepada orang yang berkurban sebagai saksi di hadapan Allah. Disebutkan juga bahwa darah hewan yang disembelih akan sampai kepada Allah sebelum darah itu jatuh memercik di tanah. Maksudnya, amal kurban akan cepat diterima Allah, dan akan cepat pula diberikan balasannya, melebihi cepatnya kucuran darah yang jatuh ke tanah.

Kurban itu sendiri, seperti disebutkan Nabi di hadis tadi, juga merupakan media pembersih jiwa. Ia membersihkan jiwa dari rasa bakhil, dengan menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya untuk membeli hewan kurban. Dengan kata lain, kurban mendidik kita menjadi orang dermawan dan ringan memberi. Ia juga membersihkan jiwa dari rasa tidak peduli dengan orang lain. Dengan berkurban, seseorang berarti menyingkirkan egoisme diri dan menumbuhkan rasa peduli dan empati kepada orang lain. Karena hakikatnya, manusia memang tidak bisa hidup sendiri.

Karena itu, Nabi sangat mengecam orang yang mampu berkurban tetapi tidak berkurban. Beliau bersabda, “Siapa saja yang memiliki kelapangan namun tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Para ulama menghukumi kurban sebagai sunah mu’akkadah, artinya yang sangat dianjurkan. Bukan hanya bagi orang yang tidak berhaji, tetapi juga bagi orang yang tengah berhaji, seperti disebutkan Aisyah, istri Nabi, bahwasanya Rasulullah menyembelih seekor sapi untuk keluarga beliau pada saat melaksanakan haji Wada’. (HR Abu Dawud)

Idul Adha atau Idul Qurban merupakan hari raya, yang berarti hari kebahagiaan bagi semua orang. Bagi yang berkurban, ia bahagia karena telah membahagiakan orang lain dengan kurbannya, di samping bahagia karena Allah menjanjikan pahala besar baginya di akhirat. Bagi yang tidak berkurban, karena belum mampu, ia juga bahagia karena mendapatkan daging kurban. Artinya, semua bahagia dan merasa senang. Rasa inilah yang akan merekatkan setiap orang dalam persaudaraan, melenyapkan rasa permusuhan dan menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Wallahu a’lam

*Republika, Rabu 29 Juni 2022


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid