Haji Mendekati Allah
Ayat ini adalah firman Allah yang ditujukan kepada Nabi Ibrahim untuk menyerukan ibadah haji, niscaya orang-orang dari berbagai penjuru negeri datang dengan beragam cara dan jalan. Dari darat, laut, hingga udara. Dulu, sebelum ada pesawat terbang, orang-orang berhaji menggunakan jalur darat dan laut. Terkadang, memakan waktu yang lama. Kini, waktu seperti bisa dilipat menjadi lebih cepat dengan adanya pesawat terbang. Seruan Nabi Ibrahim benar-benar menjadi kenyataan, saat ini hingga hari kiamat.
Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab al-Hajj al-Mabrur menggambarkan, datangnya musim haji pada setiap tahun membuat hati dipenuhi oleh kerinduan untuk pergi ke Baitullah guna melaksanakan ibadah haji dan menziarahi kubur Rasulullah, karena di situ ada kenikmatan ruhiyah yang melebihi apa pun. Misalnya, taqarub (pendekatan diri) kepada Allah dan kesibukan dengan-Nya daripada dengan makhluk lainnya, baik itu keluarga, kerabat, atau yang lainnya.
Orang yang pergi untuk beribadah haji, ia tinggalkan segala sesuatu demi beribadah kepada Allah. Ia tinggalkan keluarganya, harta bendanya, teman-temannya, dan negerinya. Ia tinggalkan kehidupan yang telah ia bangun sebelumnya demi mendekatkan diri kepada Allah dalam shalat, tawaf, talbiyah, zikir dan tasbih, tanpa sedikit pun berpaling. Hatinya merendahkan diri di hadapan Allah, dan ketaatannya kepada-Nya bertambah setiap hari. Maka rasa kasih sayang pun turun ke dalam hatinya, air matanya mengalir, dan ia menyadari bahwa segala hal duniawi tidak ada artinya dibanding kedekatan dengan Allah dan mendapatkan rida-Nya.
Dengan demikian, ibadah haji sangat erat kaitannya dengan taqarub. Suatu pendekatan diri secara tulus demi mendapatkan pahala dan rida Allah. Melalui manasik haji yang semuanya adalah ibadah, orang yang berhaji menunjukkan kesungguhan bukan hanya niat atau keinginan, atau ucapan di lisan, tetapi dibuktikan dengan aktivitas fisik. Fisik hadir nyata di tempat yang mulia, Baitullah, shalat di sekitar Kakbah, tawaf, sai, melontar jamrah dan seterusnya. Semua itu diiringi dengan talbiyah, zikir, dan tasbih.
Nabi bersabda, “Barang siapa berhaji di rumah ini (Baitullah al-Haram), tanpa melakukan rafats (berkata-kata kotor/buruk) dan tidak berbuat fasik, maka dia kembali seperti pada hari dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari). Hal ini karena orang yang berhaji telah mendekatkan diri kepada Allah dengan jiwa dan raganya, tulus ikhlas semata-mata karena-Nya. Jiwa raganya telah dikorbankan demi meraih kedekatan dengan-Nya. Ketika jiwa raga sudah dekat dengan Allah, Dia pun membersihkan dirinya dari berbagai dosa dan kesalahan terhadap-Nya dan menerima hajinya (mabrur). Allah pun menyiapkan surga baginya kelak. Nabi bersabda, “Haji mabrur itu tiada pahala bagi pelakunya kecuali surga.” (HR al-Bukhari). Wallahu a’lam.
*Republika, Sabtu 18 Juni 2022
Komentar
Posting Komentar