Mempraksiskan Pesan Pembebasan dari Jerat Krisis



PADA Jumat (1/12) diperingati sebagai hari Maulid Nabi, karena bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1439. Kata “maulid” berasal dari bahasa Arab yang bermakna “kelahiran”. Meskipun secara eksplisit Nabi tidak pernah menyuruh umat Islam untuk memperingati hari kelahiran beliau, tetapi umat beliau memperingatinya sebagai salah satu bentuk penghormatan, pemuliaan dan kecintaan terhadap sosok beliau, sekaligus untuk menggelorakan kembali semangat untuk meneladani dan mengikuti sosok agung itu. Sosok yang telah membebaskan manusia dari krisis kemanusiaan saat itu.

Dalam bukunya, Agama-agama Manusia (2001), Huston Smith menyebutkan bahwa kondisi dunia sekitar di saat kelahiran Nabi Muhammad digambarkan kaum muslimin sesudahnya dengan satu kata saja: biadab, hidup dalam padang pasir tidak pernah damai dan tenang. Kaum badui hampir tidak pernah merasa ada tanggung jawab pada siapa pun di luar kabilahnya. Kurangnya harta benda dan sifat bermusuhan satu sama lain yang selalu dikobarkan oleh teriknya matahari menyebabkan perampokan melembaga di kawasan itu dan merupakan bukti dari kejantanan.

Dalam abad ke-6 M, kemacetan kehidupan politik dan runtuhnya kewibawaan para penegak hukum dalam kota utama Mekah semakin memperburuk keadaan yang memang sudah rusak. Pesta mabuk-mabukan yang sering dengan perkelahian dan pertumpahan darah merupakan kejadian sehari-hari. Hasrat bermain judi yang selalu kuat terdapat di kalangan kaum pengembara, berkembang tanpa terkendali, sehingga meja judi di kota Mekah amat ramai sepanjang malam.

Perempuan-perempuan penari berpindah dari satu tenda ke tenda lain untuk membakar nafsu putra padang pasir yang bergelora itu. Sementara itu agama yang dianut orang banyak tidak mampu memberikan kedali apa pun atas keadaan itu. Agama yang amat tepat dinamakan sebagai suatu politeisme animis, mendiami padang pasir itu dengan roh yang bersifat hewani yang disebut jin atau setan. Walaupun jin-jin itu merupakan wujud dari ancaman padang pasir itu secara fantastis, tidak ada bukti bahwa jin-jin itu menghilhami timbulnya dorongan beragama yang sungguh-sungguh, apalagi suatu perilaku moral.

Secara keseluruhan, kondisi seperti itu sudah dapat diduga akan melahirkan suatu arus bawah ibarat api dalam sekam, yang akan meletus dalam bentuk perkelahian secara mendadak serta permusuan yang timbul dan berlanjut turunan demi turunan, yang akan berlangsung sampai puluhan tahun. Waktunya telah tiba untuk datangnya seorang pembebas. Dialah Nabi Muhammad.

Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam bukunya, Ketika Bulan Terbelah, Jejak Biografi Nabi Muhammad (2012) menyebutkan, Nabi Muhammad lahir di syi’ib (lembah) Bani Hasyim, Mekah, pada tanggal 9 atau 12 Rabiul Awal, 50 atau 55 hari setelah kegagalan serangan Abrahah, Raja Abessinia, atas Ka’bah. Tanggal itu bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M.

Nabi Muhammad lahir dalam latar seperti digambarkan Smith tadi. Alquran menyebut beliau sebagai rahmat bagi alam semesta. “Dan, tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’[21]: 107). Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim-nya mengatakan, Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Hanya saja, siapa pun yang menerima rahmat itu dan mensyukurinya, maka ia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Dan, siapa saja yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merana di dunia dan di akhirat.

Nabi menjadi rahmat bagi alam semesta. Dengan kata lain, beliau juga membawa misi menjadi pembebas umat manusia dari krisis yang melanda. Karena rahmat itu hanya muncul dalam situasi saat masyarakat berupaya melepaskan diri dari krisis. Karen Armstrong dalam bukunya Muhammad: A Biography of the Prophet menyebut Muhammad adalah sosok istimewa karena membawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sebenarnya misi itu tidak mudah dilakukan. Sebab, masyarakat Arab di mana beliau berada pada saat itu hidup dalam masa jahiliah. Sebuah situasi di mana masyarakat—seperti disebutkan di dalam Kitab Suci Alquran—tenggelam dalam alam “kegelapan” (zulumat).

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya, Peranan Agama dalam Masyarakat yang Membangun: Perspektif Islam, ada tiga bentuk “kegelapan”: pertama, tidak tahu syariat; kedua, melanggar syariat; dan ketiga, penindasan. Misi Islam dengan demikian adalah untuk menyampaikan syariat, meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari penindasan, baik itu penindasan sosial, politik, ekonomi, maupun keyakinan. Misi yang sama diusung oleh para nabi dan rasul sebelum Muhammad.

Selama lebih kurang 23 tahun—13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah—Nabi berjuang dengan segala upaya untuk membebaskan masyarakat dari krisis kemanusiaan yang terjadi. Beliau berusaha mengeluarkan mereka dari gulita itu menuju alam terang-benderang, dalam kehidupan yang modern dan beradab sehingga tercipta civil society atau masyarakat madaniah. Dalam ungkapan Robert N Bellah (Beyond Belief, 1976), tatanan masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad adalah salah satu contoh nyata masyarakat berperadaban modern. Bahkan, untuk konteks masa itu (Arab), terlalu modern. Sehingga, setelah beliau wafat, tatanan itu tidak bisa bertahan lama.

Karen Armstrong dalam bukunya, Muhammad; A Biography of The Prophet (1993), mengatakan bahwa manajemen Muhammad untuk menyebarkan budaya tauhid dan menerapkan keadilan di dunia berhasil dan sangat berpengaruh, di mana dalam tempo singkat kepemimpinannya, nabi umat Islam ini meliputi seluruh wilayah Hijaz. Muhammad pun tak ragu-ragu menyeru kaisar besar di zamannya untuk memeluk Islam, seperti Kaisar Romawi dan Kisra Persia.

Memperingati Maulid Nabi dengan demikian selain dengan merayakannya dalam bentuk-bentuk tertentu, lebih dari itu adalah mengambil “api” atau spirit dan pesan pembebasan dari beliau. Bangsa ini sekarang masih terjerat berbagai krisis sebagai akibat dari akutnya korupsi pejabat negara, belum terwujudnya keadilan hukum, belum berpihaknya ekonomi pada masyarakat lapis bawah, absennya negara membela hak-hak sipil dan masyarakat yang tertindas oleh kekuatan modal (kapitalisme), dan seterusnya, sehingga kesejahteraan belum merata. Melalui momentum peringatan Maulid Nabi, kita didorong untuk mempraksiskan pesan pembebasan agar lepas dari jerat krisis itu. Semoga.

*Nur Faridah
Investor Daily, 2 Desember 2017




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid