Pemimpin Antikorupsi
DI antara tindak kejahatan
paling besar dan berbahaya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah korupsi. Dampak dari tindak kejahatan ini sangat luar biasa. Negara menjadi
bangkrut dan semakin lama semakin rapuh, dan bisa-bisa di ujung tanduk
kehancuran.
Allah SWT sudah jauh-jauh hari
mengingatkan kita semua, bahkan hingga saat ini, untuk tidak berbuat curang,
termasuk di dalamnya praktik-praktik korupsi, dalam mengelola harta negara,
“Siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang dengan yang harta
yang dicuranginya. Kemudian, tiap-tiap diri akan dibalas penuh sesuai dengan
perbuatannya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 161)
Dalam ayat lain, Allah SWT
berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah
[2]: 188)
Korupsi banyak dilakukan oleh
para pejabat yang memegang tampuk pimpinan, mulai tingkat terbawah hingga
teratas. Sebuah adagium politik menyebutkan bahwa kekuasaan itu cenderung
korup. Para penguasa berpotensi korup. Padahal, para pejabat dan pemimpin
hakikatnya adalah pengemban amanat, yang tidak boleh dikhianati, sekecil apa
pun itu. Para pejabat perlu belajar bagaimana mengelola bangsa dan negara ini
secara baik pada dua khalifah populer antikorupsi yang mencontoh dan
mempraktikkan ajaran-ajaran Rasulullah SAW, yakni Umar bin Khattab dan Umar bin
Abdul Azis.
Dikisahkan, Umar mengangkat Abu
Hurairah sebagai pejabat yang bertugas memungut zakat dari umat Islam yang
mampu. Dan, dengan sangat baik, tugas itu dilaksanakan oleh Abu Hurairah.
Ketika melaporkan hasil kerjanya di hadapan Umar, terlihat ada sesuatu di
tangan Abu Hurairah. Umar bertanya, “Wahai Abu Hurairah, dari mana engkau
dapatkan barang yang ada di tanganmu?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai Umar, ini
dari salah satu pembayar zakat yang memberikannya padaku sebagai hadiah.”
Mendengar itu, Umar memerintahkan Abu Hurairah untuk memberikan juga harta itu
ke kas negara (Baitulmal), karena menurut Umar, seorang pejabat tidak boleh
menerima hadiah apa pun ketika sedang bekerja.
Diceritakan pula, pada masa Umar
bin Abdul Azis, para pejabat penanggung jawab Baitulmal menghadiahi putri Umar
dengan kalung emas. Tatkala melihat sang putri memakai kalung emas, Umar
bertanya, “Wahai putriku, dari mana engkau dapatkan kalung itu? Atau, bagaimana
bisa sampai engkau memakainya?” Sang putri mengatakan bahwa kalung itu adalah
hadiah yang menurutnya layak ia terima dari bagian Baitulmal. Mendengar itu,
Umar langsung menyuruh putrinya untuk mengembalikan kalung emas ke Baitulmal.
Umar menegaskan bahwa itu adalah harta kaum muslimin.
Melihat putrinya masih enggan
mencopot kalungnya, Umar menasihati, “Wahai putriku, takutlah engkau akan hari
di mana engkau akan datang ke mahkamah Tuhan dengan membawa barang yang kau
terima sewaktu di dunia!” Akhirnya, sang putri menurut dan mengembalikannya ke
Baitulmal. Dua teladan antikorupsi dari dua pemimpin besar itu telah menjadikan
rakyat percaya penuh pada pemimpinnya. Dan, itu membuat mereka dicintai
rakyatnya. Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Penulis dan pedagang di Jajan Buku
Penulis dan pedagang di Jajan Buku
Komentar
Posting Komentar