Cinta kepada Nabi SAW

KITA kembali dipertemukan dengan bulan Rabiul Awal. Bulan Nabi Muhammad dilahirkan. Juga bulan beliau berhijrah dari Mekah ke Madinah. Ada sejumlah pendapat tentang tanggal lahir beliau. Namun, mayoritas ulama dan ahli tarikh berpendapat bahwa tanggal kelahiran beliau adalah 12 Rabiul Awal. Tanggal ini pula yang kemudian hingga sekarang diperingati sebagai tanggal kelahiran beliau (Maulid Nabi).

Lebih dari sekadar memperingati hari kelahiran sang manusia agung ini setiap tahun sebagai rutinitas, lebih penting lagi adalah mengingatkan diri kita masing-masing dan mengintrospeksi atau bermuhasabah, apakah selama ini segala ucapan dan tindakan kita sudah selaras dengan teladan Nabi. Apakah akhlak kita telah meniru akhlak beliau yang luhur, seperti ditegaskan Allah dalam Alquran, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS al-Qalam [68]: 4)

Jangan-jangan apa yang kita ucapkan dan lakukan selama ini jauh sekali dari tuntunan dan akhlak beliau. Jangan-jangan kita selama ini, meskipun telah mengaku sebagai umat beliau, tidak mencerminkan akhlak beliau yang luhur. Kita mengatakan sesuatu, tetapi dalam tindakan berbeda. Atau, kita mengatakan sesuatu, tetapi kita tidak melakukannya. Jadi, tidak selaras antara kata dan perbuatan. Dalam ucapan kita mencintai Nabi, misalnya, tetapi tindakan kita tidak menunjukkan kecintaan itu. Allah menyindir keras hal ini, “Wahai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan?” (QS ash-Shaf [61]: 2)

Imam Hasan al-Bashri pernah mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya, jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya, yaitu amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya, itulah sebaik-baik manusia.”

Mencintai Nabi, apalagi selalu menyebut-nyebut beliau dalam doa dan shalawat, adalah amal yang sangat mulia dan merupakan bentuk cinta terhadap Nabi. Namun, itu saja belum cukup bila tindakan kita jauh sekali dari sosok yang kita cintai dan sebut-sebut itu. Cinta seperti itu baru sebatas ucapan, dan perlu pembuktian dengan amal atau perbuatan yang selaras dengan sosok yang dicintai itu. Kita mencintai Nabi, maka mesti juga meneladani beliau. Jangan sampai kita menjadi pribadi omdo atau omong doang. Banyak berkata tetapi minim berbuat. Mukmin sejati adalah orang yang selaras antara kata dan perbuatan.

Kita memang tidak akan bisa seratus persen menjadi seperti Nabi yang telah dijamin Allah jauh dari dosa, kesalahan, kelalaian, dan kealpaan. Namun, itu tak menjadi alasan kita untuk tidak maksimal atau optimal memperbarui cinta kita terhadap beliau. Nabi telah wafat, tetapi dua warisan agung beliau, yakin Alquran dan Sunnah, terus lestari dan bisa kita pelajari. Dari situlah kita mendapatkan pengetahuan tak hanya tentang sirah atau biografi hidup beliau, tetapi juga teladan yang bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan saat ini.

Memperingati Maulid Nabi sejatinya adalah salah satu momen untuk memperbarui cinta kita terhadap beliau. Ibarat program aplikasi yang terus diperbarui, begitu pula kecintaan kita terhadap beliau. Dalam setiap pembaruan, pasti ada hal-hal baru yang muncul dan lebih baik dibanding sebelumnya, juga perbaikan. Begitu pula pembaruan cinta kita terhadap Nabi. Sudah barang tentu harus ada yang baru dan lebih baik pada ucapan dan perilaku kita dalam kehidupan dibanding sebelumnya. Semakin kita mencintai Nabi, seyogianya semakin juga kita memperbaiki kualitas diri untuk menjadi lebih baik. Wallahu a’lam

*Republika, Kamis 5 November 2020


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid