Istiqamah dalam Ucapan

LISAN manusia bisa mengatakan apa pun, tentang apa pun, dan kepada siapa pun. Sayangnya, manusia acap kali gagal mengontrol lisan atau ucapannya, sehingga yang keluar adalah hal-hal negatif. Tak sedikit gara-gara lisan, terjadi cekcok dan pertengkaran antar sesama. Tak sedikit pula, dari cekcok dan pertengkaran itu berlanjut ke kontak fisik yang menimbulkan luka tak hanya fisik, tetapi juga batin, yakni munculnya dendam. 

Mengingat pentingnya lisan, Rasulullah mewanti-wanti kita untuk menjaganya agar tetap berada di jalan yang lurus atau istiqamah dalam kebaikan dan hal-hal positif. Beliau bersabda dalam hadisnya, “Iman seorang hamba tidak akan istiqamah sebelum hatinya istiqamah. Dan, hati itu tidak akan istiqamah sebelum lisannya (ucapannya) istiqamah.” (HR Ahmad) 

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, menjelaskan, istiqamah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, dengan tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Dan, istiqamah mencakup melakukan semua ketaatan baik yang lahir maupun yang batin serta meninggalkan semua perkara yang dilarang. Dalam hal istiqamah lisan adalah mengarahkan lisan untuk lurus, tidak mengatakan hal-hal yang mengandung dosa dan keburukan atau kejahatan, serta selalu menjadikan apa pun yang keluar dari lisan adalah kebaikan. 

Pada awalnya mungkin tidak mudah membuat lisan istiqamah. Namun, apabila terus dibiasakan, niscaya akan terbiasa. Misalnya, dimulai dengan ucapan-ucapan yang baik, meskipun tidak banyak. Dan, ketika tidak bisa mengatakan hal yang baik, diusahakan untuk diam. Hal ini lebih berpotensi menyelamatkan dibanding salah dalam perkataan yang mungkin saja juga disalahpahami oleh pendengar. Rasulullah bersabda, “Amal yang paling dicintai Allah itu amal yang istiqamah, meskipun sedikit.” (HR Muslim) 

Apalagi pada era medsos saat ini yang begitu masif dan menjadi semacam gaya hidup manusia modern atau generasi milenial. Kita begitu lincah mengomentari hal-hal yang tidak perlu atau tak ada hubungannya dengan diri kita. Orang yang kita komentari pun tak kita kenal, begitu pula sebaliknya. Parahnya lagi, komentar kita sering kali lebih banyak bernada hujatan, caci-maki, kata-kata kasar, ujaran kebencian, dan sejenisnya, yang jauh dari adab Islam. Kita seperti kehilangan akal sehat dan tak bisa berpikir panjang akan dampaknya. Bukan hanya bagi diri orang yang kita komentari seperti itu, melainkan juga diri kita sendiri yang tanpa sadar justru menunjukkan sisi buruk kita sendiri. 

Lisan atau ucapan yang istiqamah seperti disebutkan pada hadis di awal berkaitan erat dengan iman seseorang. Bagaimana iman kita akan istiqamah bila hati kita tidak istiqamah. Bagaimana hati kita bisa istiqamah bila lisan kita tidak istiqamah. Iman kita fluktuatif, hati kita juga bisa berbolak-balik, sehingga Rasulullah mengajarkan doa, “Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, tetapkanlah hatiku untuk tetap berada di atas agama-Mu.” (HR at-Tirmidzi) 

Agar hati kita tetap kukuh di jalan yang lurus, kita juga perlu mengukuhkan lisan atau ucapan kita di jalan yang lurus, tidak belok-belok tak keruan. Kita perlu memantapkan lisan kita untuk tetap di jalan kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Orang yang mampu istiqamah dalam ucapan oleh Rasulullah dijamin mendapatkan surga, “Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan) dan dua kakinya (kemaluan), maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.   

*Republika, Sabtu 5 November 2022




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid