Kemuliaan Rasa Malu
RASULULLAH bersabda, “Jika engkau tidak punya (kehilangan) rasa malu, berbuatlah sesukamu.” (HR al-Bukhari dari Abu Mas’ud)
Salah satu akhlak orang beriman adalah punya
rasa malu. Malu dalam hal ini adalah malu untuk melakukan kemaksiatan dan
keburukan, karena selain merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri.
Termasuk malu dalam hal ini juga adalah malu untuk tidak banyak melakukan amal
saleh, padahal ada kesempatan untuk melakukannya. Jadi, malu dalam hal ini
adalah malu yang positif, malu yang membangun dan meningkatkan kualitas diri di
hadapan Allah.
Rasa malu ini didasari oleh kesadaran bahwa
Allah selalu melihatnya di mana pun ia berada. Rasa malu terhadap-Nya inilah
yang diteladankan oleh Nabi Yusuf ketika digoda oleh istri al-Aziz, seorang
pembesar Mesir, yang dalam riwayat bernama Zulaikha. Perempuan ini sangat
menyukai Yusuf karena ketampanannya. Namun, wajah tampan yang dimiliki Yusuf
tak sontak membuatnya memanfaatkannya untuk melakukan perbuatan maksiat. Hal
itu semata-mata karena ia menyadari kehadiran Allah yang melihatnya.
Alquran menyebutkan kisahnya, “Sungguh,
perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun
berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.
Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia
(Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS Yusuf [12]: 24)
Keimanan dan rasa malu Yusuf yang
kuat terhadap Allah membuatnya memalingkan diri dari Zulaikha. Padahal, ibu
angkat Yusuf itu berparas cantik, berkedudukan mulia karena menjadi istri
pembesar Mesir. Namun, Yusuf lebih takut dan malu kepada Allah. Rasulullah pun
memuji putra Nabi Ya’qub ini dalam sabdanya, “Seorang yang mulia, anak dari
seorang yang mulia, cucu dari seorang yang mulia, cicit dari seorang yang
mulia, yaitu Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.” (HR al-Bukhari dan Ahmad)
Jika Yusuf tak punya keimanan dan rasa malu,
bisa saja dia melakukan apa pun demi menuruti hawa nafsunya. Seperti disebutkan
pada hadis di awal, bila seseorang sudah tak punya rasa malu, dia akan
melakukan apa saja semau-maunya. Dalam kitab Madarij as-Salikin karya
Ibnu Qayyim al-Jauziyah disebutkan, Syaikh Junaid al-Baghdadi mengatakan,
“Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan
mencegah dari menyia-nyiakan hak pemiliknya.” Rasulullah bersabda, “Malu itu
tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan semata.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Iman dan rasa malu seperti diteladankan oleh
Yusuf berkaitan sangat erat. Rasulullah menyebutkan bahwa rasa malu adalah
bagian dari iman (HR al-Bukhari). Orang yang menanggalkan rasa malunya berarti
sama dengan menanggalkan keimanannya, yakni kadar keimanannya kepada Allah
terdegradasi. Semakin manusia seenaknya sendiri berbuat, karena perasaan
malunya sudah ia tanggalkan, iman dalam dirinya kian tergerus, dan lama-lama
akan jatuh ke titik nadir. Ketika itulah, Allah seakan-akan dicampakkan dari
dalam hatinya. Ia lebih menuruti hawa nafsunya, tanpa rasa malu berbuat maksiat
dan keburukan.
Rasa malu adalah tanda keimanan kepada Allah.
Dengan rasa ini, kita mengontrol segala tindakan dan ucapan kita agar tetap
berada di jalan yang lurus dan mulia. Rasulullah menegaskan, “Malu adalah
bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga. Sementara perkataan kotor
adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka.” (HR
at-Tirmidzi). Dengan rasa malu ini kita berharap mendapatkan kemuliaan di sisi
Allah. Wallahu a’lam.
*Republika, Selasa 6 Februari 2024
Komentar
Posting Komentar