Giat dalam Kebaikan
Hidup adalah anugerah Allah yang harus disyukuri. Syukur yang tidak hanya di lisan, tetapi juga dalam perbuatan. Wujud nyata dari syukur dalam perbuatan adalah mengerahkan segala daya upaya untuk melakukan kebaikan, dalam berbagai bentuknya. Kebaikan untuk diri sendiri, untuk orang lain, dan untuk lingkungannya. Dengan demikian, bersyukur tiada lain adalah dorongan terhadap manusia untuk giat melakukan aktivitas kebaikan, dan tidak malas-malasan.
Malas dalam melakukan kebaikan merupakan sikap tercela. Orang munafik dicela salah satunya karena ketika akan mengerjakan shalat mereka malas-malasan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah. Padahal, Allahlah yang menipu mereka. Dan, apabila mereka hendak berdiri mengerjakan shalat, mereka berdiri dengan malas-malasan.” (QS an-Nisa’ [4]: 142)
Sebaliknya, giat beraktivitas dalam kebaikan adalah sikap terpuji. Rasulullah pernah mengatakan, “Sebaik-baik makanan yang dikonsumsi oleh seseorang adalah makanan yang berasal dari hasil usaha tangannya sendiri.” (HR Ibnu Majah). Di sini, beliau secara tak langsung menyuruh kita untuk mencari dan mendapatkan makanan yang halal melalui usaha atau pekerjaan. Baik itu bekerja mandiri maupun bekerja kepada orang lain selama halal.
Maka kemalasan merupakan penghalang kemajuan. Sebuah masyarakat atau bangsa tidak akan pernah maju menjadi lebih baik jika individu-individu di dalamnya adalah para pemalas. Allah mengingatkan manusia dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11).
Pada ayat di awal, Allah menyuruh kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Orang yang serius berlomba pasti akan mempersiapkan diri sebaik mungki dan fokus, tidak diam saja atau malas-malasan. Dalam hal mencari materi dunia yang halal saja kita disuruh untuk tidak malas-malasan, apalagi jika itu adalah mencari pahala atau karunia Allah di akhirat. Mukmin yang rajin dalam kedua hal ini sangat dimuliakan dan disanjung oleh Allah, karena itu menunjukkan kecintaan kepada Allah.
Keberhasilan dakwah Rasulullah adalah contoh paling terang dalam hal anti malas. Keberhasilan itu tiada lain karena usaha keras beliau sepanjang hayatnya, tanpa kenal lelah, apalagi malas-malasan. Di awal dakwahnya, Rasulullah sudah diberi wahyu, “Wahai orang yang berselimut! Bangkitlah, dan berilah peringatan!” (QS al-Muddatstsir [74]: 1-2). Ketika Mekah sudah tak lagi kondusif untuk dakwah, beliau dan para sahabat hijrah ke Madinah, ini merupakan bentuk usaha dan sikap optimistis, bukan pesimistis dan menyerah. Dengan demikian, mukmin sejati sudah selayaknya giat dalam kebaikan baik dalam urusan duniawi yang halal maupun akhirat yang abadi. Wallahu a’lam.
*Republika, Kamis 16 Mei 2024
Komentar
Posting Komentar