Mementingkan Orang Lain


DI antara karakter utama orang beriman adalah lebih mementingkan orang lain atau saudaranya dalam hal positif. Tidak hanya menganjurkan dan mendorong untuk itu, Nabi dan para sahabat juga mempraktikkannya secara nyata. Mereka begitu senang ketika telah membuat saudaranya senang, dan mereka bersedih ketika tidak bisa memberikan hal terbaik kepada saudaranya. Bahkan, mereka rela menderita asalkan saudaranya sesama orang beriman tidak menderita.

Dalam Alquran, misalnya, Allah menggambarkan karakter orang Anshar, “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Hasyr [59]: 9)

Orang Anshar terkenal dengan solidaritasnya yang tinggi. Ini mereka buktikan saat mereka menerima dengan penuh sukacita kaum Muhajirin yang berhijrah dari Mekah ke Madinah karena tekanan kaum Quraisy. Seperti digambarkan pada ayat di atas, kaum Anshar bahkan lebih mementingkan kaum Muhajirin dari diri mereka sendiri, meskipun mereka begitu membutuhkan. Wajar kemudian Rasulullah memuji kebaikan kaum Anshar. Rasulullah, misalnya, bersabda, “Demi Allah, sungguh kalian (Anshar) adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Abu Hurairah menceritakan, ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah, lalu berkata, “Hidup saya begitu sengsara, ya Rasulullah.” Beliau kemudian menyuruhnya ke tempat istri-istrinya untuk meminta sedekah dari mereka. Seorang istri beliau berkata, “Demi Allah yang mengutus Anda dengan benar, saya tidak mempunyai sesuatu kecuali air.” Selanjutnya, Rasulullah menyuruh lelaki tadi pergi ke tempat istrinya yang lain, dan istri yang berikutnya pun mengatakan hal yang sama.

Rasulullah kemudian mengumpulkan para sahabatnya, lalu bertanya, “Siapakah yang akan membawa orang ini sebagai tamunya pada malam ini?” Seorang lelaki Anshar berkata, “Saya, ya Rasulullah.” Ia pun membawa lelaki tadi sebagai tamunya ke tempat kediamannya. Orang Anshar itu kemudian berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ini. Apakah kamu punya sesuatu untuk disajikan kepadanya?” Istrinya menjawab, “Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anak kita.”

Orang Anshar itu berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan hal lain, sehingga mereka lupa dengan makan malamnya. Jadi kalau sudah waktunya mereka makan malam, maka tidurkanlah mereka. Jika tamu kita telah masuk rumah, padamkan lampunya dan buat tamu kita itu merasa seakan-akan kita ikut makan malam dengannya.”

Saat makan malam tiba, orang Anshar dan istrinya serta tamunya duduk bersama tanpa penerangan. Sang tamu makan dengan lahapnya, sementara orang Anshar dan istrinya itu hingga pagi hari dalam kondisi perut kosong. Pagi harinya, tamu itu kaget mengetahui apa yang terjadi semalam. Ia pun lalu pergi menemui Rasulullah menerangkan peristiwa itu. Mendengar hal tersebut, beliau bersabda kepada orang Anshar dan istrinya itu, “Allah benar-benar kagum dengan yang kalian lakukan semalam.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Demikianlah pujian Allah kepada orang yang mementingkan orang lain. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunnah bahkan berkata, mengutamakan orang lain padahal ia sedang kesusahan, itu lebih utama daripada sekadar bersedekah dengan senang hati. Karena, tidak semua orang yang bersedekah itu senang hati dan dalam kesusahan. Nabi menegaskan, “Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya dari kesulitan di dunia dan akhirat.” (HR Muslim). Wallahu a’lam.

*Nur Faridah
Penulis dan pedagang di Jajan Buku
Republika, Sabtu 15 Desember 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid