Baik terhadap Tetangga
Dalam hidup bertetangga, Nabi memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga dan tidak berbuat jahat kepada tetangga. Beliau bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya.” (HR Ibnu Majah). Dalam hadis lain, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.” (HR al-Bukhari)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab Taisir al-Karim ar-Rahman menjelaskan, tetangga yang lebih dekat tempatnya, maka lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab agar mendapat hidayah, dengan bersedekah, berdakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak mengganggu mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Berbuat baik terhadap tetangga, seperti diperintahkan Nabi, misalnya, dengan memberikan makanan hingga tak ada satu pun tetangga yang kelaparan sepanjang malam sementara kita kekenyangan hingga pagi. Beliau mengatakan, “Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan.” (HR al-Baihaqi). Dalam hadis lain, beliau bersabda, “Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu, lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik.” (HR Muslim)
Hal sebaliknya, Nabi sangat mengecam orang yang berbuat jahat terhadap tetangganya, atau membuat tetangganya terganggu karena keburukannya. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.” Sahabat bertanya, “Siapa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya).” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadh ash-Shalihin menjelaskan, bawa’iq maksudnya adalah bersikap culas, khianat, zalim, dan jahat. Siapa saja yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga direalisasikan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Karena itu, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala macam bentuk. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin.
Keharmonisan sosial dalam skala besar bisa dimulai dari skala kecil, yakni relasi antar tetangga yang baik, dilandasi rasa cinta dan kasih sayang, serta saling menghormati dan menghargai. Perlakuan baik kita terhadap tetangga akan menghilangkan perasaan iri, dengki, dan niat-niat jahat. Hal itu sekaligus akan mengukuhkan rasa empati kita terhadap tetangga, terutama yang kurang mampu, sehingga kita tergerak untuk membantu. Wallahu a’lam.
*Republika, Sabtu 20 Agustus 2022
Komentar
Posting Komentar