Persaudaraan Menjauhkan Perpecahan
“SESUNGGUHNYA orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS al-Hujurat [49]: 10)
Ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, mereka merasa menjadi tamu di negeri orang. Hal itu sedikit banyak membuat mereka merasa tidak enak. Akan tetapi, kaum Anshar tidak menganggap mereka sebagai tamu. Justru, mereka menganggap sebagai saudara seiman dan seagama. Rasulullah kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Di antara yang dipersaudarakan itu adalah Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’.
Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi karya Imam at-Tirmidzi dikisahkan bahwasanya Sa’ad menawarkan pada Abdurrahman, “Apakah engkau mau jika aku membagi harta yang aku miliki sekarang menjadi dua bagian; sebagian untukku dan sebagiannya lagi untukmu? Aku juga punya dua orang istri, apakah engkau mau jika aku mentalak salah seorang dari mereka, kemudian setelah masa idahnya selesai engkau bisa menikahinya?”
Mendengar penawaran ini, Abdurrahan
menanggapi, “Mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan kepadamu, keluargamu,
dan hartamu. Aku tidak ingin itu. Cukuplah bagiku engkau menunjukkan kepadaku
lokasi pasar di sini.” Abdurrahman pun kemudian ditunjukkan letak pasar. Ia
mulai berniaga di situ, dan pelan-pelan namun pasti, usahanya berhasil. Ia
menjadi seorang niagawan yang sukses.
Cerita ini mengandung banyak hikmah dan
pelajaran. Salah satunya berkaitan dengan persaudaraan. Persaudaraan yang
diikat oleh perasaan empati dan ketulusan hati menjadi kekuatan besar yang
mengalahkan segalanya. Inilah kaum Anshar, gambaran ketulusan yang tiada tara.
Karena itu, Rasulullah amat memuji kaum Anshar. Beliau mengatakan, “Tanda
keimanan seseorang itu adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan itu
adalah membenci kaum Anshar.” (HR al-Bukhari)
Pada saat ini, kaum Anshar sudah tidak ada,
sehingga kita tidak bisa mencintai mereka secara fisik. Akan tetapi, kita bisa
mencintai mereka dengan meneladani mereka. Teladan tentang ketulusan
persaudaraan. Persaudaraan yang menyatukan perbedaan. Persaudaraan yang
dilandasi cinta karena Allah dan empati kemanusiaan. Persaudaraan yang
mempreteli satu demi satu fanatisme kesukuan, budaya, dan latar belakang.
Persaudaraan yang mengubah keterasingan menjadi kebersamaan dan suasana
kekeluargaan. Persaudaraan yang mendekatkan jarak. Persaudaraan yang menjauhkan
perpecahan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara hari-hari ini, kita tampaknya tengah mengalami krisis yang cukup
serius. Ikatan-ikatan persaudaraan sedikit demi sedikit kian memudar. Egoisme
dan fanatisme kian menguat. Benih-benih perpecahan mulai tersemai dan tumbuh
bersemi. Hanya karena beda politik, beda paham, dan beda pilihan, muncul
perpecahan. Rasulullah tidak menginginkan perpecahan di kalangan umat muslim.
Kaum Muhajirin dan kaum Anshar memang berbeda, tetapi justru beliau
mempersatukan perbedaan itu dengan tali persaudaraan, sehingga satu sama lain
merasa sebagai saudaranya yang harus ditolong dan dibantu ketika
kesulitan. Wallahu a’lam.
*Republika, Selasa 19 Desember 2023
Komentar
Posting Komentar