Islam dan Spirit Pemberantasan Korupsi



CERITA tentang korupsi di negeri ini seperti tiada akhirnya. Berbagai upaya secara hukum sudah dilakukan. Namun sepertinya dihukum pun belum ada jeranya karena baik dihukum maupun tidak, sama saja.

Bagi koruptor kelas kakap yang dihukum, di dalam penjara mereka diberi fasilitas supermewah, di tempat khusus pula. Kalau begini, bagaimana bisa jera atau membuat orang yang ingin korupsi takut?

Dalam perspektif Islam (baca: yurisprudensi Islam), istilah korupsi seperti yang dipahami saat ini memang tidak ada. Sebab, korupsi merupakan istilah yang baru muncul.

Meskipun demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam korupsi padanannya ada di dalam Islam. Dalam buku Koruptor itu Kafir; Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (2010), misalnya, diulas cukup luas tentang unsur-unsur korupsi yang bersinggungan dengan istilah-istilah jarimah (pidana kejahatan) dalam perspektif Islam.

Menurut Muhammadiyah, padanan-padanan dengan unsur-unsur korupsi itu, antara lain pertama, ghulul (pengkhianatan atas amanah yang mestinya dijaga). Kedua, risywah (praktik suap). Ketiga, khiyanah (khianat).

Keempat, mukabarah (eksploitasi atas harta secara tidak sah). Kelima, ghasab (mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan jalan kekerasan atau paksaan). Keenam, sariqah (pencurian).

Ketujuh, intikhab (merampas). Dan, kedelapan aklu suht (makan hasil atau barang haram). Menurut NU, beberapa unsur korupsi menunjukkan kedekatan kejahatan ini dengan beberapa kejahatan menyangkut harta benda. Pertama, dari sisi mengambil harta orang lain atau pihak lain secara tidak sah, korupsi sangat dekat dengan pencurian (sariqah), tetapi korupsi lebih besar daripada pencurian.

Kedua, dari sisi kekuasaan, korupsi lebih dekat dengan risywah. Ketiga, dari sisi penggelapan harga publik korupsi sangat dekat dengan ghulul. Keempat, dari segi dampak yang ditimbulkannya, korupsi sangat dekat dengan hirabah, yakni sama-sama termasuk fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan publik.

Dalam Islam, segala bentuk kejahatan pidana ada hukumannya. Namun, karena kejahatan korupsi tidak disebutkan secara tersurat, baik di Alquran maupun hadis Nabi, hukuman yang diberlakukan adalah takzir, yakni jenis sanksi yang didasarkan pada pertimbangan seorang hakim.

Dengan demikian, seorang hakim bisa menjatuhkan hukuman dari mulai yang paling ringan hingga paling berat, bergantung tingkat korupsi dan dampaknya secara luas. Jika melihat kejahatan korupsi yang dampak buruknya sangat luas dan menimbang bahwa kejahatan ini telah begitu mengakar dan sistematis, hakim bisa didorong untuk menjatuhkan hukuman sangat berat sehingga membuat jera dan orang akan takut korupsi.

Selain sanksi secara hukum legal-formal, pelaku kejahatan korupsi juga mesti mendapatkan sanksi sosial. Dalam hal ini, segenap elemen masyarakat serta organisasi sosial dan keagamaan bisa berperan aktif mengampanyekan antikorupsi. Salah satu yang bisa dilakukan antara lain menyematkan label paling buruk terhadap koruptor, guna menekan secara psikologis dan mental.

Dalam bahasa agama (baca: Islam), kafir merupakan label yang paling buruk. Ini perlu karena masyarakat Indonesia mayoritas Islam dan kebanyakan yang korupsi mengaku muslim.

Islam melarang korupsi karena korupsi termasuk dosa besar. Oleh sebab itu, jika ada yang mengaku sebagai muslim, tetapi berbuat korupsi berarti dia tidak menaati ajaran agama apa pun alasannya. Mengaitkan korupsi dengan kekafiran atau menetapkan koruptor sebagai kafir memang masih dapat diperdebatkan.

Menurut Toshihiko Izutsu dalam bukunya, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam (1994), sekte atau aliran teologi dalam Islam yang pertama mengecam seseorang sebagai kafir adalah Khawarij. Jargon mereka yang terkenal adalah la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Oleh karena itu, sekte ini mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah yang mereka anggap tidak mau berhukum dengan Alquran ketika mereka berperang di Shifin.

Berbicara tentang kafir, dalam kajian teologi Islam setidaknya ada tiga pandangan. Pertama, pandangan Khawarij yang secara tegas membedakan iman dan kafir. Orang yang berdosa besar—sebagian sempalan di tubuh Khawarij malah ada yang memasukkan dosa kecil—adalah kafir.

Kedua, pandangan Muktazilah yang menyebut bahwa pelaku dosa besar berada di tengah-tengah antara mukmin dan kafir. Mereka menyebutnya manzilah bainal manzilatain (posisi di antara dua posisi). Ketiga, pandangan ahlusunah waljamaah yang menyebut bahwa pelaku dosa besar tidak serta-merta membuatnya menjadi kafir karena yang berhak menentukan kafir tidaknya adalah Allah. Tidak ada satu pun teks Islam yang menyebut koruptor kafir.

Korupsi merupakan tindak kejahatan sangat besar (extraordinary crime). Oleh karena itu, perang melawan korupsi mestinya juga harus besar-besaran dari berbagai arah dan perspektif dan dilakukan segenap elemen dan lapisan masyarakat.

Jika berbagai hukuman tetap tidak membuat jera, malah beberapa di antara koruptor itu justru dihukum ringan, atau malah bebas sama sekali, tentu tidak berlebihan kiranya menyebut koruptor sebagai kafir dan jenazahnya tidak layak untuk disalati seperti dikatakan sebagian ulama NU. Din Syamsuddin bahkan mengatakan korupsi adalah syirik modern karena tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya, the power of money.

*Nur Faridah
Lampung Post, 6 Oktober 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid