Hakim yang Adil
Karena itu, hakim haruslah netral atau independen, lepas dari intervensi pihak mana pun. Segala keputusan hukumnya mutlak harus berpijak dan berdasarkan kepada kebenaran melalui bukti-bukti dan saksi-saksi. Ia tidak boleh memutuskan hukum secara sewenang-wenang, misalnya, dengan memenangkan salah satu pihak yang berperkara karena pihak tersebut adalah seorang penguasa, sementara pihak yang kalah adalah rakyat biasa.
Dalam kitab Shuwar min Hayah at-Tabi’in karya Abdurrahman Rifa’at Basya, disebutkan, Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan pakaian perang kesayangannya. Lalu, dia mendapatinya berada di tangan seorang zimi (kafir yang dilindungi di negeri Islam) di pasar Kufah. Begitu melihatnya, spontan Ali berkata, “Ini adalah milikku yang jatuh dari untaku pada suatu malam di sebuah tempat.” Namun, dia mengelak, “Ini adalah barangku dan berada di tanganku, wahai Khalifah!” Ali berkata, “Ini milikku, aku tak merasa pernah menjualnya atau memberikannya hingga sampai berada di tanganmu.”
Orang zimi itu lalu berkata, “Kalau begitu kita datang kepada hakim!” Ali berkata, “Baik, mari kita ke sana!” Maka mereka pun pergi menemui hakim Syuraih bin al-Harits. Dalam persidangan, hakim Syuraih bertanya, “Apa tuduhan Anda, wahai Khalifah?” Ali menjawab, “Kudapati barangku berada di tangan orang ini. Barang itu jatuh dari untaku pada suatu malam di sebuah tempat, lalu sampai di tangan orang ini, padahal aku tidak menjual kepadanya, tidak pula kuberikan sebagai hadiah.”
Syuraih berkata kepada si zimi, “Apa tanggapan Anda?” Ia menjawab, “Barang ini milikku, dia ada di tanganku. Namun, aku tidak menuduh Khalifah berdusta.” Syuraih berkata kepada Ali, “Aku tidak meragukan kejujuran Anda, wahai Khalifah, bahwa barang ini milik Anda, tapi harus ada dua orang saksi yang membuktikan kebenaran tuduhan Anda.” Ali berkata, “Baik, aku punya dua orang saksi, pembantuku Qanbar dan putraku Hasan.” Syuraih berkata, “Tapi kesaksian anak bagi ayahnya tidak berlaku, wahai Khalifah.”
Ali berkata, “Subhanallah, seorang ahli surga ditolak kesaksiannya? Apakah Anda tak pernah mendengar sabda Rasulullah bahwa Hasan dan Husein adalah pemuka para pemuda penduduk surga?” Syuraih menjawab, “Aku tahu itu, wahai Khalifah, hanya saja kesaksian anak untuk ayahnya tidak berlaku.” Mendengar jawaban itu, Ali menoleh kepada si zimi dan berkata, “Ambillah barang itu, sebab aku tak punya saksi lagi selain keduanya.”
Si zimi pun berkata, “Aku bersaksi bahwa barang itu adalah milik Anda, wahai Khalifah. Ya Allah, Khalifah menghadapkan aku kepada seorang hakimnya, dan hakimnya memenangkan aku. Aku bersaksi bahwa agama yang mengajarkan seperti ini adalah agama yang benar dan suci. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya. Wahai hakim, ketahuilah bahwa barang ini adalah milik Khalifah. Waktu itu aku mengikuti pasukannya menuju ke Shifin. Pakaian ini jatuh dari untanya, lalu aku mengambilnya.” Ali pun berkata, “Karena kini Anda telah menjadi Muslim, maka aku hadiahkan pakaian ini untukmu, dan aku hadiahkan kuda ini untukmu juga.”
Demikian keadilan hakim Syuraih. Ia tidak memenangkan Ali meski ia adalah Khalifah. Syuraih hanya memutuskan hukum berdasarkan bukti dan saksi, yang itu tidak bisa dihadirkan oleh Ali. Namun, pada akhirnya kebenaran pun terkuak melalui pengakuan si zimi itu sendiri yang melihat sosok adil di diri hakim Syuraih. Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Republika, 26 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar