Jalan Menerima Cinta Allah
Judul : Muara Cinta, Menyiapkan Hati Menerima Pancaran Cinta-Nya
Penulis : Ust. Husin Nabil
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, 2016
Tebal : 226 halaman
ISBN : 978-602-385-085-3
TUJUAN hidup orang beriman (beragama) adalah meraih cinta Allah. Namun, cinta-Nya tidak bisa didapatkan tanpa mencintai-Nya. Cinta yang benar-benar cinta, bukan main-main. Cinta yang tulus tanpa pamrih dan penuh kepasrahan. Cinta yang lahir karena kesadaran akan keberadaan-Nya yang selalu mengawasi dan melihat segala tindak-tanduknya dalam kehidupan. Dan, cinta kepada-Nya tidak akan lahir tanpa kesalehan.
Buku karangan Ust. Husin Nabil, pengajar tasawuf, ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan pendek bernapaskan ajaran-ajaran tasawuf yang mendorong setiap orang untuk mendapatkan cinta Allah yang merupakan muara segala cinta. Bagi Nabil, Allah adalah muara cinta sejati. Segala perbuatan atau laku manusia yang tidak berjiwakan cinta akan sia-sia. Cinta Allah tidak akan mungkin diraih dengan hal-hal yang buruk: kebencian, kekerasan, maksiat dan seterusnya. Cinta perlu pembuktian nyata lewat laku kebaikan dan akhlak luhur dengan penuh kesetiaan.
Nabil, misalnya, menulis tentang cinta yang perlu kesetiaan dan pembuktian nyata ini: Setiap cinta yang diucapkan, perlu bukti kesetiaan. Betapa banyak kata cinta diumbar. Namun sedikit sekali kesetiaan dibuktikan. Saat kau ucapkan kata cinta, sedang matamu lirik yang lain, kau adalah pengkhianat… pendusta, miliki tempat di hati? Yang mengaku pencinta, kesetiaannya siap diuji. Adakah ia benar-benar mencintai-Nya atau malah mengkhianati-Nya? (hal. 18-19).
Nabi Muhammad adalah sosok pencinta sejati. Ia mencintai Allah melebih apa pun. Dan ia buktikan cinta itu dengan jalan mencintai manusia yang bahkan telah melukainya. Di sini, Nabil menyebutkan kisah Nabi dalam Perang Uhud. Saat itu, Nabi terluka parah. Panah musuh berhasil merobek penutup wajah dari besi dan menembus pipi suci beliau hingga tanggal salah satu giginya. Di saat itu datanglah Fatimah. Ia membasuh wajah Nabi dan menggosokkan abu dari tembikar yang telah dibakar untuk menghentikan pendarahan di wajah beliau.
Sambil mengusap wajah Nabi, Fatimah berkata, “Wahai Rasulullah, wahai ayah, apakah yang telah mereka perbuat kepadamu ini?” Nabi tak menjawab perkataan putrinya itu, lalu dengan penuh rahmat dan cinta, berdoa, “Wahai Allah, ampuni kaumku, mereka berbuat seperti ini karena mereka tak tahu.”
Betapa besar kasih sayang beliau. Dalam kondisi yang tersakiti, beliau masih menyebut orang yang menyakitinya dengan “kaumku”. Beliau menisbatkan orang-orang musyrik yang menyakitinya itu kepada dirinya. Karena beliau ingin agar mereka semua selamat menuju surga (hal. 40-41)
Perihal kesalehan yang berkaitan dengan kebahagiaan yang dituju setiap manusia, dan kecelakaan yang coba dihindari, misalnya, Nabil menyebut bahwa itu semua ada pada keputusan dan di tangan Allah. Nabil menulis: Bahagia dan celaka seseorang, adalah misteri yang tak akan terungkap. Jadi, untuk apa kita simpulkan atau kita perdebatkan? Justru dari sinilah muncul mutiara-mutiara hikmah, dan banyak pelajaran dari-Nya.
Seakan Tuhan berpesan: Hamba-Ku, dekatilah Aku karena itulah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Dekatilah Aku dengan amal saleh dan jauhilah perbuatan jahat dan buruk. Namun ingat, jangan kau menjadi sombong dengan amal salehmu, seakan kaulah yang menentukan dirimu ke surga. Kau hanyalah melakukan syarat menuju surga, namun izin masuk tetap di dalam kekuasaan-Ku. (hal. 56-57).
Tulisan-tulisan di buku ini sarat dengan pesan-pesan ajaran tasawuf dalam ungkapan yang sederhana dan lugas namun berbobot. Pesan-pesan yang disampaikannya berkaitan dengan sisi-sisi kehidupan manusia kini yang tampak jauh dari Allah sehingga spiritualitas atau jiwanya hampa. Manusia terlalu terobsesi dengan hal-hal yang bersifat bendawi (materialisme) sehingga melupakan tujuan hidup yang sejati. Orang pun banyak yang gundah-gulana, khawatir, cemas dan takut. Itu karena tidak ada Allah di dalam hatinya. Cintanya mendua, bahkan Allah diduakan.
Melalui buku ini Nabil mencoba menggugah kesadaran kita untuk kembali menjadikan cinta Allah sebagai muara yang kita tuju dan mempersiapkan hati untuk menerima pancaran cinta-Nya. Hati perlu dipersiapkan dengan jalan membersihkannya terlebih dahulu dari unsur-unsur duniawi atau bendawi yang menghalangi pancaran cahaya cinta Allah. Hati dikosongkan dari hal-hal duniawi yang fana hingga siap menerima pancaran cinta-Nya. Jika hati sudah bersih dan harapan akan mendapatkan pancaran cinta-Nya sudah bergelora, Allah pun memancarkan cinta-Nya di hatinya.
Hati yang telah penuh dengan pancaran cinta Allah kemudian akan terpancarkan dalam kehidupan. Laku anggota badan dan pikiran senantiasa terkontrol. Ia menjadi pencinta kebaikan, akhlak luhur, dan kemanusiaan dan selalu memperjuangkan dan membela itu. Ia mencintai sesama manusia karena Allah Mahacinta. Ia tidak akan mengklaim buruk orang lain, karena hanya Allah yang Mahatahu kondisi hakikatnya. Bagi hati yang telah terpancari cinta-Nya, lebih baik mengintrospeksi diri sendiri dengan terus meningkatkan kesalehan pribadi, daripada sibuk membicarakan keburukan orang lain. Menarik disimak.
*Nur Faridah
Penulis : Ust. Husin Nabil
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, 2016
Tebal : 226 halaman
ISBN : 978-602-385-085-3
TUJUAN hidup orang beriman (beragama) adalah meraih cinta Allah. Namun, cinta-Nya tidak bisa didapatkan tanpa mencintai-Nya. Cinta yang benar-benar cinta, bukan main-main. Cinta yang tulus tanpa pamrih dan penuh kepasrahan. Cinta yang lahir karena kesadaran akan keberadaan-Nya yang selalu mengawasi dan melihat segala tindak-tanduknya dalam kehidupan. Dan, cinta kepada-Nya tidak akan lahir tanpa kesalehan.
Buku karangan Ust. Husin Nabil, pengajar tasawuf, ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan pendek bernapaskan ajaran-ajaran tasawuf yang mendorong setiap orang untuk mendapatkan cinta Allah yang merupakan muara segala cinta. Bagi Nabil, Allah adalah muara cinta sejati. Segala perbuatan atau laku manusia yang tidak berjiwakan cinta akan sia-sia. Cinta Allah tidak akan mungkin diraih dengan hal-hal yang buruk: kebencian, kekerasan, maksiat dan seterusnya. Cinta perlu pembuktian nyata lewat laku kebaikan dan akhlak luhur dengan penuh kesetiaan.
Nabil, misalnya, menulis tentang cinta yang perlu kesetiaan dan pembuktian nyata ini: Setiap cinta yang diucapkan, perlu bukti kesetiaan. Betapa banyak kata cinta diumbar. Namun sedikit sekali kesetiaan dibuktikan. Saat kau ucapkan kata cinta, sedang matamu lirik yang lain, kau adalah pengkhianat… pendusta, miliki tempat di hati? Yang mengaku pencinta, kesetiaannya siap diuji. Adakah ia benar-benar mencintai-Nya atau malah mengkhianati-Nya? (hal. 18-19).
Nabi Muhammad adalah sosok pencinta sejati. Ia mencintai Allah melebih apa pun. Dan ia buktikan cinta itu dengan jalan mencintai manusia yang bahkan telah melukainya. Di sini, Nabil menyebutkan kisah Nabi dalam Perang Uhud. Saat itu, Nabi terluka parah. Panah musuh berhasil merobek penutup wajah dari besi dan menembus pipi suci beliau hingga tanggal salah satu giginya. Di saat itu datanglah Fatimah. Ia membasuh wajah Nabi dan menggosokkan abu dari tembikar yang telah dibakar untuk menghentikan pendarahan di wajah beliau.
Sambil mengusap wajah Nabi, Fatimah berkata, “Wahai Rasulullah, wahai ayah, apakah yang telah mereka perbuat kepadamu ini?” Nabi tak menjawab perkataan putrinya itu, lalu dengan penuh rahmat dan cinta, berdoa, “Wahai Allah, ampuni kaumku, mereka berbuat seperti ini karena mereka tak tahu.”
Betapa besar kasih sayang beliau. Dalam kondisi yang tersakiti, beliau masih menyebut orang yang menyakitinya dengan “kaumku”. Beliau menisbatkan orang-orang musyrik yang menyakitinya itu kepada dirinya. Karena beliau ingin agar mereka semua selamat menuju surga (hal. 40-41)
Perihal kesalehan yang berkaitan dengan kebahagiaan yang dituju setiap manusia, dan kecelakaan yang coba dihindari, misalnya, Nabil menyebut bahwa itu semua ada pada keputusan dan di tangan Allah. Nabil menulis: Bahagia dan celaka seseorang, adalah misteri yang tak akan terungkap. Jadi, untuk apa kita simpulkan atau kita perdebatkan? Justru dari sinilah muncul mutiara-mutiara hikmah, dan banyak pelajaran dari-Nya.
Seakan Tuhan berpesan: Hamba-Ku, dekatilah Aku karena itulah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Dekatilah Aku dengan amal saleh dan jauhilah perbuatan jahat dan buruk. Namun ingat, jangan kau menjadi sombong dengan amal salehmu, seakan kaulah yang menentukan dirimu ke surga. Kau hanyalah melakukan syarat menuju surga, namun izin masuk tetap di dalam kekuasaan-Ku. (hal. 56-57).
Tulisan-tulisan di buku ini sarat dengan pesan-pesan ajaran tasawuf dalam ungkapan yang sederhana dan lugas namun berbobot. Pesan-pesan yang disampaikannya berkaitan dengan sisi-sisi kehidupan manusia kini yang tampak jauh dari Allah sehingga spiritualitas atau jiwanya hampa. Manusia terlalu terobsesi dengan hal-hal yang bersifat bendawi (materialisme) sehingga melupakan tujuan hidup yang sejati. Orang pun banyak yang gundah-gulana, khawatir, cemas dan takut. Itu karena tidak ada Allah di dalam hatinya. Cintanya mendua, bahkan Allah diduakan.
Melalui buku ini Nabil mencoba menggugah kesadaran kita untuk kembali menjadikan cinta Allah sebagai muara yang kita tuju dan mempersiapkan hati untuk menerima pancaran cinta-Nya. Hati perlu dipersiapkan dengan jalan membersihkannya terlebih dahulu dari unsur-unsur duniawi atau bendawi yang menghalangi pancaran cahaya cinta Allah. Hati dikosongkan dari hal-hal duniawi yang fana hingga siap menerima pancaran cinta-Nya. Jika hati sudah bersih dan harapan akan mendapatkan pancaran cinta-Nya sudah bergelora, Allah pun memancarkan cinta-Nya di hatinya.
Hati yang telah penuh dengan pancaran cinta Allah kemudian akan terpancarkan dalam kehidupan. Laku anggota badan dan pikiran senantiasa terkontrol. Ia menjadi pencinta kebaikan, akhlak luhur, dan kemanusiaan dan selalu memperjuangkan dan membela itu. Ia mencintai sesama manusia karena Allah Mahacinta. Ia tidak akan mengklaim buruk orang lain, karena hanya Allah yang Mahatahu kondisi hakikatnya. Bagi hati yang telah terpancari cinta-Nya, lebih baik mengintrospeksi diri sendiri dengan terus meningkatkan kesalehan pribadi, daripada sibuk membicarakan keburukan orang lain. Menarik disimak.
*Nur Faridah
Duta Masyarakat, 16 September 2017
Komentar
Posting Komentar