Hati Tanpa Hasud
SALAH satu akhlak tercela yang perlu dijauhi dan dibersihkan dari hati kita
adalah hasud (dengki, iri hati). Dalam hadis dikatakan, Rasulullah bersabda,
“Hasud akan memakan segala amal kebaikan yang telah dilakukan, seperti halnya
api yang memakan habis kayu bakar.” (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik)
Hasud adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakakan orang lain tersebut. Hasud biasanya timbul disebabkan oleh kelebihan yang dimiliki oleh orang lain yang tidak ia miliki. Ini salah satu sifat yang biasa melekat pada manusia, ketika orang lain mendapatkan rezeki berupa harta benda yang banyak, misalnya, sedangkan dirinya tidak, maka akan tumbuh perasaan hasud.
Perasaan seperti ini amat dilarang Rasulullah, karena ia dapat merusak hubungan di antara manusia. Abu Laits as-Samaraqandi dalam kitabnya, Tanbihul Ghafilin, mengatakan, tidak ada yang lebih jahat selain hasud. Orang yang hasud akan mengalami bencana sebelum ia mencelakai orang. Misalnya, kerisauan dan kegelisahan akibat kebencian tak terputus-putus. Ia juga akan dipandang rendah dan pasti dijauhi orang. Selain itu, ia juga jauh dari rahmat Allah. Amal baik yang telah dilakukan juga akan hancur.
Dengan demikian, orang yang hasud sejatinya adalah orang yang merugi, karena selalu dihantui perasaan tertekan melihat orang lain mendapatkan kelebihan. Dan, akhirnya orang-orang seperti ini tidak melihat dirinya sendiri, berkaca pada diri sendiri. Pandangannya hanya tertuju kepada orang lain. Sehingga ia tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ia hanya menyibukkan diri untuk melihat orang lain dan berusaha menghancurkannya.
Padahal, Allah memberikan kelebihan yang berbeda kepada setiap manusia. Barangkali orang lain bisa mendapatkan rezeki yang banyak, tapi sejatinya ia tidak bahagia. Sedangkan dirinya, meski diberikan rezeki yang sedikit, bisa saja malah bahagia. Ini berarti bahwa kelebihan satu manusia dengan manusia yang lain amat berbeda. Rezeki semua manusia sudah diatur oleh Allah bahkan sejak ia lahir ke dunia, dan itu adalah berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan Allah.
Kita tidak dapat membandingkan apa yang orang lain punya dengan apa yang kita punya, karena tidak ada ukuran yang pasti. Yang jelas, Allah memberikan kepada setiap manusia kelebihannya masing-masing sebagai rahmat dan kasih sayang-Nya. Sebetulnya, kalau mau melihat diri sendiri dengan cermat, maka akan ia temukan kelebihannya sendiri, yang tidak dimiliki orang lain.
Karena itu, sikap hasud tidak akan membawa kebaikan, tapi justru akan membawa keburukan, terutama kepada yang bersangkutan. Hidupnya akan selalu diselimuti dengan keluh kesah dan putus asa. Akhirnya ia melakukan tindakan-tindakan negatif untuk melampiaskan hasudnya itu. Tidak heran, ketika kita membaca berita-berita di media massa, akan kita temukan kasus-kasus pembunuhan, misalnya, yang itu dilatar belakangi oleh sikap hasud ini. Mengingat betapa besarnya madarat yang diakibatkan oleh sikap ini Rasulullah menyamakan hal ini dengan api yang memakan habis kayu bakar, artinya, betapa bahayanya sikap ini jika dilakukan.
Dapat dibayangkan betapa rugi dan buruknya orang-orang seperti ini. Nabi melarang hasud dan menganjurkan kita untuk hidup bersaudara, tanpa hasud, tanpa kebencian, di hati kita, “Janganlah kalian saling hasud (mendengki), saling memutuskan hubungan, saling membenci, dan saling membelakangi. Tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepadamu.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Hasud adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakakan orang lain tersebut. Hasud biasanya timbul disebabkan oleh kelebihan yang dimiliki oleh orang lain yang tidak ia miliki. Ini salah satu sifat yang biasa melekat pada manusia, ketika orang lain mendapatkan rezeki berupa harta benda yang banyak, misalnya, sedangkan dirinya tidak, maka akan tumbuh perasaan hasud.
Perasaan seperti ini amat dilarang Rasulullah, karena ia dapat merusak hubungan di antara manusia. Abu Laits as-Samaraqandi dalam kitabnya, Tanbihul Ghafilin, mengatakan, tidak ada yang lebih jahat selain hasud. Orang yang hasud akan mengalami bencana sebelum ia mencelakai orang. Misalnya, kerisauan dan kegelisahan akibat kebencian tak terputus-putus. Ia juga akan dipandang rendah dan pasti dijauhi orang. Selain itu, ia juga jauh dari rahmat Allah. Amal baik yang telah dilakukan juga akan hancur.
Dengan demikian, orang yang hasud sejatinya adalah orang yang merugi, karena selalu dihantui perasaan tertekan melihat orang lain mendapatkan kelebihan. Dan, akhirnya orang-orang seperti ini tidak melihat dirinya sendiri, berkaca pada diri sendiri. Pandangannya hanya tertuju kepada orang lain. Sehingga ia tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ia hanya menyibukkan diri untuk melihat orang lain dan berusaha menghancurkannya.
Padahal, Allah memberikan kelebihan yang berbeda kepada setiap manusia. Barangkali orang lain bisa mendapatkan rezeki yang banyak, tapi sejatinya ia tidak bahagia. Sedangkan dirinya, meski diberikan rezeki yang sedikit, bisa saja malah bahagia. Ini berarti bahwa kelebihan satu manusia dengan manusia yang lain amat berbeda. Rezeki semua manusia sudah diatur oleh Allah bahkan sejak ia lahir ke dunia, dan itu adalah berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan Allah.
Kita tidak dapat membandingkan apa yang orang lain punya dengan apa yang kita punya, karena tidak ada ukuran yang pasti. Yang jelas, Allah memberikan kepada setiap manusia kelebihannya masing-masing sebagai rahmat dan kasih sayang-Nya. Sebetulnya, kalau mau melihat diri sendiri dengan cermat, maka akan ia temukan kelebihannya sendiri, yang tidak dimiliki orang lain.
Karena itu, sikap hasud tidak akan membawa kebaikan, tapi justru akan membawa keburukan, terutama kepada yang bersangkutan. Hidupnya akan selalu diselimuti dengan keluh kesah dan putus asa. Akhirnya ia melakukan tindakan-tindakan negatif untuk melampiaskan hasudnya itu. Tidak heran, ketika kita membaca berita-berita di media massa, akan kita temukan kasus-kasus pembunuhan, misalnya, yang itu dilatar belakangi oleh sikap hasud ini. Mengingat betapa besarnya madarat yang diakibatkan oleh sikap ini Rasulullah menyamakan hal ini dengan api yang memakan habis kayu bakar, artinya, betapa bahayanya sikap ini jika dilakukan.
Dapat dibayangkan betapa rugi dan buruknya orang-orang seperti ini. Nabi melarang hasud dan menganjurkan kita untuk hidup bersaudara, tanpa hasud, tanpa kebencian, di hati kita, “Janganlah kalian saling hasud (mendengki), saling memutuskan hubungan, saling membenci, dan saling membelakangi. Tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepadamu.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Republika, 26 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar