Menyelamatkan Masa Depan Anak Lewat Pendidikan
Judul : Mengembangkan Ruang Baca
Penulis : John Wood
Penerbit : Alvabet
Terbit : 2014
Tebal : 466 halaman
SETIAP anak terlahir dalam keluarga dan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Betapa beruntungnya jika seorang anak lahir dalam keluarga yang secara ekonomi termasuk kategori mampu dan dalam situasi lingkungan yang sangat mendukung perkembangan pendidikannya. Namun, tidak semua anak beruntung seperti itu. Di banyak belahan dunia, ada begitu banyak anak yang lahir dalam keluarga dan situasi lingkungan yang sebaliknya.
Banyak anak lahir dalam keluarga tidak mampu secara ekonomi dan akses pendidikan sangat terbatas. Mereka sebenarnya sangat ingin mengenyam pendidikan dengan fasilitas memadai, tetapi tak berdaya. Mereka seperti terlahir di “tempat yang salah”. Masa depan mereka menjadi suram. Tidak jarang mereka kemudian menjadi objek kejahatan dan eksploitasi, terutama anak-anak perempuan.
Ketimpangan seperti itulah yang menggerakkan seorang John Wood, mantan pejabat Microsoft, yang memilih keluar dari perusahaan raksasa itu untuk mendirikan Room to Read pada 1999. Ini adalah organisasi nirlaba yang mempromosikan pendidikan, kesetaraan jender, dan minat baca anak-anak di seluruh dunia. Organisasi tersebut menggalang dana dari negara-negara kaya untuk membangun sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan di daerah-daerah terpencil di berbagai negara.
Wood membayangkan Amerika Serikat menghabiskan 900 miliar dollar dalam peperangan di Afganistan dan Irak selama lebih dari satu dekade. Jika 10 persen saja didedikasikan untuk membangun sekolah-sekolah, perubahannya pasti radikal. Dengan 9 miliar dollar, kelompok yang bergerak cepat seperti Room to Read dapat bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk membangun 272.000 sekolah. Ini akan menghasilkan lebih dari satu juta ruang kelas baru. Dengan 25 anak per kelas, baru memberi dampak pada 25 juta siswa (hal 4).
Buku ini sejatinya merupakan catatan perjalanan Wood bersama Room to Read yang ditulisnya sendiri, yang penuh dengan lika-liku, demi merealisasikan tujuan organisasinya. Di sini dikisahkan perjuangan tim Room to Read yang sangat inspiratif di Nepal, Kamboja, Laos, Vietnam, India, Sri Lanka, Bangladesh, Zambia, dan Afrika Selatan. Room to Read tak hanya mendirikan sekolah dan perpustakaan, tetapi juga memonitor program dengan saksama dan menindaklanjutinya demi kesuksesan siswa berkelanjutan (hal 21).
Selama sebelas tahun terakhir, Wood bersama Room to Read telah mendirikan lebih dari 12 ribu perpustakaan, menerbitkan lebih dari 10 juta buku, membangun lebih dari 1.500 sekolah, dan mendukung lebih dari 13 ribu anak perempuan menyelesaikan sekolah menengah.
Tak heran, dia mendapat sejumlah penghargaan, termasuk pengakuan sebagai Young Global Leader oleh World Economic Forum. Majalah Time bahkan menyebutnya sebagai salah seorang “Pahlawan Asia”, sementara The Public Broadcasting Corporation mencatat namanya sebagai salah satu “Pemimpin Besar Amerika”.
Buku ini memberi banyak pelajaran berharga seperti semangat membangun budaya literasi di kalangan anak-anak, terutama perempuan, agar lebih mencintai buku dan menempuh pendidikan secara layak. Dengan itu, setidaknya masa depan mereka bisa menjadi lebih baik. Mereka juga akan dapat berkontribusi penting dan berharga bagi negara. Dengan memberi kesempatan mengenyam pendidikan dan mencintai buku berarti masa depan mereka terselamatkan dari kesuraman.
*Nur Faridah
Koran Jakarta, 5 Juni 2014
Penerbit : Alvabet
Terbit : 2014
Tebal : 466 halaman
SETIAP anak terlahir dalam keluarga dan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Betapa beruntungnya jika seorang anak lahir dalam keluarga yang secara ekonomi termasuk kategori mampu dan dalam situasi lingkungan yang sangat mendukung perkembangan pendidikannya. Namun, tidak semua anak beruntung seperti itu. Di banyak belahan dunia, ada begitu banyak anak yang lahir dalam keluarga dan situasi lingkungan yang sebaliknya.
Banyak anak lahir dalam keluarga tidak mampu secara ekonomi dan akses pendidikan sangat terbatas. Mereka sebenarnya sangat ingin mengenyam pendidikan dengan fasilitas memadai, tetapi tak berdaya. Mereka seperti terlahir di “tempat yang salah”. Masa depan mereka menjadi suram. Tidak jarang mereka kemudian menjadi objek kejahatan dan eksploitasi, terutama anak-anak perempuan.
Ketimpangan seperti itulah yang menggerakkan seorang John Wood, mantan pejabat Microsoft, yang memilih keluar dari perusahaan raksasa itu untuk mendirikan Room to Read pada 1999. Ini adalah organisasi nirlaba yang mempromosikan pendidikan, kesetaraan jender, dan minat baca anak-anak di seluruh dunia. Organisasi tersebut menggalang dana dari negara-negara kaya untuk membangun sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan di daerah-daerah terpencil di berbagai negara.
Wood membayangkan Amerika Serikat menghabiskan 900 miliar dollar dalam peperangan di Afganistan dan Irak selama lebih dari satu dekade. Jika 10 persen saja didedikasikan untuk membangun sekolah-sekolah, perubahannya pasti radikal. Dengan 9 miliar dollar, kelompok yang bergerak cepat seperti Room to Read dapat bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk membangun 272.000 sekolah. Ini akan menghasilkan lebih dari satu juta ruang kelas baru. Dengan 25 anak per kelas, baru memberi dampak pada 25 juta siswa (hal 4).
Buku ini sejatinya merupakan catatan perjalanan Wood bersama Room to Read yang ditulisnya sendiri, yang penuh dengan lika-liku, demi merealisasikan tujuan organisasinya. Di sini dikisahkan perjuangan tim Room to Read yang sangat inspiratif di Nepal, Kamboja, Laos, Vietnam, India, Sri Lanka, Bangladesh, Zambia, dan Afrika Selatan. Room to Read tak hanya mendirikan sekolah dan perpustakaan, tetapi juga memonitor program dengan saksama dan menindaklanjutinya demi kesuksesan siswa berkelanjutan (hal 21).
Selama sebelas tahun terakhir, Wood bersama Room to Read telah mendirikan lebih dari 12 ribu perpustakaan, menerbitkan lebih dari 10 juta buku, membangun lebih dari 1.500 sekolah, dan mendukung lebih dari 13 ribu anak perempuan menyelesaikan sekolah menengah.
Tak heran, dia mendapat sejumlah penghargaan, termasuk pengakuan sebagai Young Global Leader oleh World Economic Forum. Majalah Time bahkan menyebutnya sebagai salah seorang “Pahlawan Asia”, sementara The Public Broadcasting Corporation mencatat namanya sebagai salah satu “Pemimpin Besar Amerika”.
Buku ini memberi banyak pelajaran berharga seperti semangat membangun budaya literasi di kalangan anak-anak, terutama perempuan, agar lebih mencintai buku dan menempuh pendidikan secara layak. Dengan itu, setidaknya masa depan mereka bisa menjadi lebih baik. Mereka juga akan dapat berkontribusi penting dan berharga bagi negara. Dengan memberi kesempatan mengenyam pendidikan dan mencintai buku berarti masa depan mereka terselamatkan dari kesuraman.
*Nur Faridah
Koran Jakarta, 5 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar