Meminta kepada Allah
MANUSIA adalah makhluk sosial. Pada saat yang sama, ia juga makhluk spiritual.
Artinya, selain membutuhkan orang lain, ia juga membutuhkan sesuatu yang
sifatnya gaib bahkan mahagaib untuk membantunya keluar dari kesulitan hidup.
Hal ini karena tidak setiap kebutuhan mampu dipenuhi oleh orang lain. Karena,
manusia punya kemampuan yang terbatas. Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa
diselesaikannya sendiri bahkan ketika ia sudah meminta bantuan dan pertolongan
kepada orang lain yang dirasa punya kemampuan lebih.
Pada titik terlemah dan terendahnya, ketika manusia merasa sepertinya jalan tampak sudah buntu atau ia begitu kesulitan menemukan jalan keluar dari problem yang dihadapinya, sisi batin atau spiritualnya pun bersuara, mencari-cari kekuatan gaib yang yang mampu membantunya. Orang yang beriman niscaya segera memohon dan meminta kepada Allah agar sudi membantunya. Nabi pernah berpesan kepada Ibnu Abbas saat ia berada di atas unta beliau, membonceng di belakangnya, “Wahai anak muda, jika engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR at-Tirmidzi)
Meminta dalam bahasa Arab disebut dengan doa. Orang yang berdoa kepada Allah sejatinya tengah meminta sesuatu kepada-Nya. Namun, doa mesti diiringi dengan usaha. Ini disebut dengan tawakal. Ibnul Qayyim dalam kitab ar-Ruh fil Kalam ‘ala Arwahil Amwat wal Ahya’ mengatakan, “Tawakal merupakan amal dan bentuk ubudiyah hati (penghambaan kepada Allah) dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan rida atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan sebab-sebab serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.”
Meminta kepada Allah, tetapi tidak berusaha keras untuk memperolehnya dengan kerja keras, tidaklah disebut tawakal, tetapi merupakan sikap manja bahkan perbuatan yang sangat tidak sopan kepada Allah, sehingga kemungkinan besar akan diabaikan Allah. Allah tidak suka orang yang malas. Sekadar meminta, namun tidak berusaha untuk mencarinya. Bagaimana ia mendapatkan yang diinginkan? Seperti dikatakan di awal, manusia adalah makhluk sosial dan spiritual sekaligus. Keduanya mesti berjalan bersamaan. Bersosial namun melupakan spiritualitasnya, sehingga tidak meminta kepada Allah, berarti sama dengan melupakan dan mengabaikan-Nya serta menjauhi-Nya.
Orang yang seperti itu berarti adalah orang yang sombong, merasa segala hal bisa diselesaikan sendiri, cukup bersandar kepada manusia atau ilmu pengetahuannya. Padahal, manusia adalah makhluk yang kemampuannya terbatas. Begitu pula dengan pengetahuannya. Sepandai-pandainya manusia, ia tidak akan mampu memastikan apa yang terjadi esok hari. Ia hanya bisa meramal dan memperkirakan. Itu pun banyak yang meleset. Manusia tidak bisa dijadikan sebagai sandaran utama dan satu-satunya. Allahlah yang mestinya menjadi sandaran utama (ash-Shamad), sehingga dengan kedekatan dengan Allah, Allah pun akan memberi jalan dari berbagai problem dan kesulitan yang dihadapinya.
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS ath-Thalaq [65]: 3). Nabi juga mengatakan, “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya tawakal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR at-Tirmidzi). Abu Hatim ar-Razi mengatakan bahwa di sini Nabi berbicara tentang tawakal, dan ini merupakan faktor terbesar yang bisa mendatangkan rezeki. Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Republika, 5 Juli 2017
Pada titik terlemah dan terendahnya, ketika manusia merasa sepertinya jalan tampak sudah buntu atau ia begitu kesulitan menemukan jalan keluar dari problem yang dihadapinya, sisi batin atau spiritualnya pun bersuara, mencari-cari kekuatan gaib yang yang mampu membantunya. Orang yang beriman niscaya segera memohon dan meminta kepada Allah agar sudi membantunya. Nabi pernah berpesan kepada Ibnu Abbas saat ia berada di atas unta beliau, membonceng di belakangnya, “Wahai anak muda, jika engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR at-Tirmidzi)
Meminta dalam bahasa Arab disebut dengan doa. Orang yang berdoa kepada Allah sejatinya tengah meminta sesuatu kepada-Nya. Namun, doa mesti diiringi dengan usaha. Ini disebut dengan tawakal. Ibnul Qayyim dalam kitab ar-Ruh fil Kalam ‘ala Arwahil Amwat wal Ahya’ mengatakan, “Tawakal merupakan amal dan bentuk ubudiyah hati (penghambaan kepada Allah) dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan rida atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan sebab-sebab serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.”
Meminta kepada Allah, tetapi tidak berusaha keras untuk memperolehnya dengan kerja keras, tidaklah disebut tawakal, tetapi merupakan sikap manja bahkan perbuatan yang sangat tidak sopan kepada Allah, sehingga kemungkinan besar akan diabaikan Allah. Allah tidak suka orang yang malas. Sekadar meminta, namun tidak berusaha untuk mencarinya. Bagaimana ia mendapatkan yang diinginkan? Seperti dikatakan di awal, manusia adalah makhluk sosial dan spiritual sekaligus. Keduanya mesti berjalan bersamaan. Bersosial namun melupakan spiritualitasnya, sehingga tidak meminta kepada Allah, berarti sama dengan melupakan dan mengabaikan-Nya serta menjauhi-Nya.
Orang yang seperti itu berarti adalah orang yang sombong, merasa segala hal bisa diselesaikan sendiri, cukup bersandar kepada manusia atau ilmu pengetahuannya. Padahal, manusia adalah makhluk yang kemampuannya terbatas. Begitu pula dengan pengetahuannya. Sepandai-pandainya manusia, ia tidak akan mampu memastikan apa yang terjadi esok hari. Ia hanya bisa meramal dan memperkirakan. Itu pun banyak yang meleset. Manusia tidak bisa dijadikan sebagai sandaran utama dan satu-satunya. Allahlah yang mestinya menjadi sandaran utama (ash-Shamad), sehingga dengan kedekatan dengan Allah, Allah pun akan memberi jalan dari berbagai problem dan kesulitan yang dihadapinya.
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS ath-Thalaq [65]: 3). Nabi juga mengatakan, “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya tawakal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR at-Tirmidzi). Abu Hatim ar-Razi mengatakan bahwa di sini Nabi berbicara tentang tawakal, dan ini merupakan faktor terbesar yang bisa mendatangkan rezeki. Wallahu a’lam.
*Nur Faridah
Republika, 5 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar