Islam dan Transformasi Sosial



ISLAM dengan sosok Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas masyarakat yang disebutkan Alquran sebagai masyarakat yang tenggelam dalam kegelapan (az-zulumat). Islam hadir untuk mengeluarkan umat manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang-benderang (an-nur). Maka, secara substantif, Islam adalah agama bermisi transformatif, perubahan sosial, melalui aksi sosial.

Misi transformatif Islam, menurut Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya, Peranan Agama dalam Masyarakat yang Membangun: Perspektif Islam, ditegaskan dalam Alquran antara lain di Surah Ibrahim Ayat (1), Surah Al-Ma’idah Ayat (15), Surah Al-Hadid Ayat (9), Surat Ath-Thalaq Ayat (10), Surat Al-Ahzab Ayat (41-43), dan Surah Al-Baqarah Ayat (257). Menurutnya, di surah-surah itu tersirat bahwa kehadiran agama, Islam terutama, dimaksudkan untuk mengubah masyarakat (an-nas) dari berbagai kegelapan kepada cahaya.

Kata az-zulumat, menurut Jalaluddin Rahmat, adalah bentuk jamak dari kata zulm (kegelapan atau kezaliman). Ada tiga macam zulm: pertama, ketidaktahuan tentang syariat; kedua, pelanggaran terhadap syariat; ketiga, penindasan. Islam datang untuk membebaskan mereka dari hidup yang berdasarkan kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan tentang syariat menuju pengertian tentang halal dan haram, dari kehidupan yang penuh beban dan belenggu ke arah kebebasan. Inilah misi Islam. Ini pula misi para Nabi dan pelanjutnya.

Perubahan Sosial

Bagaimanakah proses perubahan dalam perspektif Islam? Mengutip Jalaluddin Rahmat, Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individual. Secara berangsur-angsur, perubahan individual itu harus disusul dengan perubahan institusional. Tapi, perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang bersifat artikulatif. Dimulai dari peningkatan dimensi intelektual (pengenalan terhadap syariat), kemudian dimensi ideologikal (berpegang kepada kalimat tauhid). Dalam dimensi ideologikal inilah terkandung aksi transformatif Islam.

Sejarah kontemplasi Nabi Muhammad di Gua Hira menjadi gambaran proses perubahan yang dimulai dari individu. Dalam kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari, diceritakan ketika Nabi sudah begitu miris melihat kondisi masyarakatnya yang tenggelam dalam kegelapan, ia pun pergi ke Gua Hira, di puncak bukit yang sekarang dikenal dengan nama Jabal Nur di Mekah.

Di tempat inilah, Nabi merenung selama bulan Ramadan, hingga Jibril datang menyampaikan wahyu Tuhan berisi perintah kepada Nabi untuk membaca (iqra) ciptaan Tuhan dan membaca manusia. Sebuah dorongan agar Nabi menggunakan daya nalar intelektual. Kemudian, Nabi diperintahkan untuk mengagungkan Tuhan. Sebuah proses peningkatan dari daya intelektual menjadi daya ideologikal, yakni keyakinan tentang Tuhan (tauhid) yang dipegang teguh.

Ali Syariati, intelektual muslim asal Iran, mengatakan Islam bukanlah ideologi manusia yang terbatas pada masa dan persada tertentu, tetapi merupakan arus yang mengalir sepanjang sejarah, berasal dari mata air gunung yang jauh dan mengalir melintasi jalan berbatu, sebelum mencapai laut. Arus ini tidak pernah berhenti dan pada saat-saat tertentu para Nabi dan para penggantinya muncul untuk mempercepat arus kekuatan itu (Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab, Pengantar Buku Ideologi Kaum Intelektual).

Islam adalah arus yang mengalir sepanjang sejarah. Artinya, Islam adalah sebuah agama transformatif yang dengan demikian selalu dibarengi dengan aksi sosial yang terus hidup. Mustahil transformasi sosial bisa terwujud tanpa aksi. Dalam kitab Shahih Bukhari dikisahkan tiga tahun pascaperistiwa di Gua Hira, Jibril tidak datang lagi menemui Nabi. Nabi konon hampir putus asa menunggu, hingga akhirnya Jibril datang lagi menemuinya.

Pada pertemuan kedua ini, Jibril menyampaikan wahyu Tuhan berisi perintah kepada Nabi untuk memulai aksi perubahan yang revolusioner melalui kalimat-kalimat ini, “Wahai orang yang berselimut! Bangunlah! Peringatkanlah manusia! Agungkanlah Tuhanmu! Bersihkanlah pakaianmu! Tinggalkanlah berhala-berhala (pagan)!" (Alquran Surah Al-Muddatstsir Ayat [1-5])

Misi transformatif Islam dimulai dengan peneguhan tauhid, yakni menegaskan Tuhan Allah. Amien Rais dalam bukunya, Menelan Cakrawala (1985) mengatakan tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki Allah akan menjadi nilai bagi manusia tauhid dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Komitmennya kepada Allah adalah utuh, total, positif, dan kokoh, serta menyangkut cinta dan pengabdian, ketaatan, dan kepasrahan kepada Tuhan serta kemauan keras untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya.

Dari pengertian tauhid inilah, sejak kelahirannya Islam berwatak revolusioner. Menurut Amien Rais dalam artikelnya, Gerakan-Gerakan Islam Internasional dan Pengaruhnya bagi Gerakan Islam di Indonesia, jika revolusi diartikan sebagai suatu perubahan yang fundamental, suatu rekonstruksi sosial dan moral masyarakat, Islam yang dibawa Nabi Muhammad di Jazirah Arab pada abad VII merupakan suatu revolusi total yang mengubah banyak aspek kehidupan manusia saat itu.

Bagaimana Islam transformatif beraksi dalam konteks Indonesia? Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Mestinya ini menjadi harapan bagi percepatan transformasi bangsa yang hingga kini terasa masih jalan di tempat atau berjalan tetapi sepelan kura-kura. Dalam situasi yang demikian, bangsa ini dihadapkan dengan persoalan dalam negeri yang berat, yakni masalah korupsi yang makin menggurita dan mengakar serta kemiskinan yang meningkat. Umat Islam mestinya bersatu padu bahu-membahu ikut berpartisipasi melakukan aksi sosial demi penyelamatan bangsa agar tidak jatuh ke alam kegelapan karena korupsi ini, bukan malah bertikai dengan sesama.

*Nur Faridah
Lampung Post, 18 Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat Bencana

Pejabat Amanah Antikorupsi

Hati Terpaut Masjid