Puasa, Jalan Menuju Kesalehan Individual dan Sosial
Judul : Menjadi Takwa dengan Puasa
Penulis : Fajar Kurnianto
Penerbit : Quanta
Terbit : 2014
Tebal : 288 halaman
UMAT Islam tengah menjalani salah satu kewajibannya, yakni berpuasa sebulan penuh. Semua agama memiliki tradisi puasa dengan ketentuan berbeda-beda. Hal itu menunjukkan puasa begitu penting bagi umat beragama.
Dalam Islam, puasa bertujuan menjadikan diri sebagai orang bertakwa agar saleh secara individual melalui berbagai ritual ibadah dan saleh secara sosial melalui aktivitasaktivitas kemanusiaan, seperti memberi sedekah, membantu kesulitan orang, tidak menyakiti sesama, dan seterusnya.
Tujuan inilah yang coba dieksplorasi lebih jauh buku Menjadi Takwa dengan Puasa. Puasa dikaitkan dengan beberapa hal, seperti pembangunan karakter, kedermawanan, pengendalian hasrat negatif, membudayakan kebaikan, dan mengedepankan cinta kasih pada sesama.
Selain itu, dikaitkan dengan kesederhanaan hidup, spiritualitas, mewaspadai budaya yang tak sejalan dengan puasa, menebar rahmat, giat beraktivitas kemanusiaan, dan seterusnya. Terkait dengan pembangunan karakter, misalnya, tampak bahwa di tengah krisis yang terjadi pada bangsa ini, terutama pada sebagian elite di berbagai lembaga negara dan pemerintahan, puasa dapat menjadi momentum pendorong upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih maju.
Contoh soal korupsi yang sesungguhnya lahir dari hasrat-hasrat hati dan pikiran kotor untuk memperkaya diri sendiri tanpa peduli orang lain yang menderita akibatnya. Puasa dalam hal ini menjadi alat pengerem (halaman 8). Puasa juga mendorong pelakunya membudayakan dan berlomba-lomba melakukan kebaikan. Dikisahkan, pada bulan Ramadan, Hasan Al-Bashri, salah seorang tokoh sufi terkenal, berjalan melewati sekelompok orang yang tengah tertawa terbahakbahak. Ia menegur mereka,
“Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai arena perlombaan dalam ketaatan pada-Nya. Ada banyak orang yang mengikuti perlombaan itu hingga berhasil menjadi pemenang. Namun, ada juga yang ikut perlombaan, tetapi kalah. Yang amat mengherankan, ada pemain-pemain hanya tertawa-tawa di saat lainnya berpacu meraih kemenangan” (halaman 89).
Puasa juga melatih pelakunya untuk hidup sederhana. Buku ini banyak mengutip pesan-pesan dan praktik-praktik kesederhanaan nabi dalam kehidupannya. Disebutkan, misalnya, pada suatu hari orang-orang menyebut-nyebut dunia yang indah di dekat Nabi. Dia kemudian menanggapi, “Tidakkah kalian mendengar? Tidakkah kalian mendengar, hidup sederhana itu termasuk bagian dari keimanan?” (halaman 160).
Buku ini cukup menarik dan tepat dengan momen sekarang. Dengan bahasa sederhana dan lugas, dipaparkan perihal puasa dikaitkan dengan beberapa hal yang merupakan media menuju terciptanya manusia bertakwa, saleh individual dan sosial. Banyak orang yang secara fisik berpuasa, tetapi perbuatan atau perilakunya jauh dari gambaran orang berpuasa.
Mereka berpuasa, tetapi korupsi berjalan terus. Manusia berpuasa, tetapi malah bergembira dengan kelakuan buruknya. Ada yang berpuasa, namun hasrat konsumerisme malah meningkat. Kesederhanaan justru lenyap di saat berpuasa. Buku ini setidaknya mengingatkan pembaca agar mawas diri dan menjadikan puasa sebagai momentum perbaikan diri.
Penerbit : Quanta
Terbit : 2014
Tebal : 288 halaman
UMAT Islam tengah menjalani salah satu kewajibannya, yakni berpuasa sebulan penuh. Semua agama memiliki tradisi puasa dengan ketentuan berbeda-beda. Hal itu menunjukkan puasa begitu penting bagi umat beragama.
Dalam Islam, puasa bertujuan menjadikan diri sebagai orang bertakwa agar saleh secara individual melalui berbagai ritual ibadah dan saleh secara sosial melalui aktivitasaktivitas kemanusiaan, seperti memberi sedekah, membantu kesulitan orang, tidak menyakiti sesama, dan seterusnya.
Tujuan inilah yang coba dieksplorasi lebih jauh buku Menjadi Takwa dengan Puasa. Puasa dikaitkan dengan beberapa hal, seperti pembangunan karakter, kedermawanan, pengendalian hasrat negatif, membudayakan kebaikan, dan mengedepankan cinta kasih pada sesama.
Selain itu, dikaitkan dengan kesederhanaan hidup, spiritualitas, mewaspadai budaya yang tak sejalan dengan puasa, menebar rahmat, giat beraktivitas kemanusiaan, dan seterusnya. Terkait dengan pembangunan karakter, misalnya, tampak bahwa di tengah krisis yang terjadi pada bangsa ini, terutama pada sebagian elite di berbagai lembaga negara dan pemerintahan, puasa dapat menjadi momentum pendorong upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih maju.
Contoh soal korupsi yang sesungguhnya lahir dari hasrat-hasrat hati dan pikiran kotor untuk memperkaya diri sendiri tanpa peduli orang lain yang menderita akibatnya. Puasa dalam hal ini menjadi alat pengerem (halaman 8). Puasa juga mendorong pelakunya membudayakan dan berlomba-lomba melakukan kebaikan. Dikisahkan, pada bulan Ramadan, Hasan Al-Bashri, salah seorang tokoh sufi terkenal, berjalan melewati sekelompok orang yang tengah tertawa terbahakbahak. Ia menegur mereka,
“Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai arena perlombaan dalam ketaatan pada-Nya. Ada banyak orang yang mengikuti perlombaan itu hingga berhasil menjadi pemenang. Namun, ada juga yang ikut perlombaan, tetapi kalah. Yang amat mengherankan, ada pemain-pemain hanya tertawa-tawa di saat lainnya berpacu meraih kemenangan” (halaman 89).
Puasa juga melatih pelakunya untuk hidup sederhana. Buku ini banyak mengutip pesan-pesan dan praktik-praktik kesederhanaan nabi dalam kehidupannya. Disebutkan, misalnya, pada suatu hari orang-orang menyebut-nyebut dunia yang indah di dekat Nabi. Dia kemudian menanggapi, “Tidakkah kalian mendengar? Tidakkah kalian mendengar, hidup sederhana itu termasuk bagian dari keimanan?” (halaman 160).
Buku ini cukup menarik dan tepat dengan momen sekarang. Dengan bahasa sederhana dan lugas, dipaparkan perihal puasa dikaitkan dengan beberapa hal yang merupakan media menuju terciptanya manusia bertakwa, saleh individual dan sosial. Banyak orang yang secara fisik berpuasa, tetapi perbuatan atau perilakunya jauh dari gambaran orang berpuasa.
Mereka berpuasa, tetapi korupsi berjalan terus. Manusia berpuasa, tetapi malah bergembira dengan kelakuan buruknya. Ada yang berpuasa, namun hasrat konsumerisme malah meningkat. Kesederhanaan justru lenyap di saat berpuasa. Buku ini setidaknya mengingatkan pembaca agar mawas diri dan menjadikan puasa sebagai momentum perbaikan diri.
*Nur Faridah
Koran Jakarta, 5 Juli 2014
Koran Jakarta, 5 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar