Etika, Kunci Jadi Manusia Berkualitas
Judul : Keutamaan Etika Islam, Menjadi Manusia Berkarakter & Berkualitas
Penulis : Fajar Kurnianto
Penerbit : Quanta
Cetakan : I, 2017
Tebal : viii+296 halaman
ISBN : 978-602-04-1095-1
SETIAP agama mengajarkan kebaikan dan bertujuan menjadikan manusia sebagai makhluk yang baik; pada ucapan, perilaku, tindakan maupun yang lainnya dalam kehidupan sosial. Menurut pandangan agama, orang yang baik adalah orang yang punya karakter kuat dan kualitas yang tinggi dan mumpuni. Karakter dan kualitas ini hanya akan terbentuk ketika segala ucapan, perilaku dan tindakannya berdasarkan etika atau moral yang luhur sebagai pancaran dari ajaran agama yang mulia di sisi Tuhan.
Dalam buku ini, Fajar Kurnianto, berbicara soal karakter dan kualitas manusia dari sisi ajaran Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan atau fundamen dasarnya. Etika yang membentuk manusia menjadi makhluk yang berkarakter kuat, tidak menjadi orang lain, tetapi menjadi diri sendiri. Tidak terombang-ambing oleh situasi buruk di sekitarnya, tetapi kukuh dengan prinsip yang dipegangnya. Serta etika yang membentuk manusia menjadi makhluk berkualitas yang menjadi teladan baik bagi orang lain, dan menjadi pribadi yang bermanfaat, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Etika Islam, seperti ditegaskan Fajar, bukanlah sekadar diucapkan, tetapi dilakukan. Dengan itu, keutamaan atau manfaatnya dapat dirasakan secara nyata. Sebagai contoh, Fajar misalnya mengulas perihal mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Banyak orang yang bersalah, baik itu terhadap Tuhan maupun terhadap sesama, tetapi tidak banyak yang mau mengakui kesalahan, malah terkadang berusaha menutup-nutupi kesalahan atau mencari-cari cara agar kesalahan yang dilakukan tampak benar di mata orang lain. Untuk semua itu, tak sedikit biaya dikeluarkan. Betapa ironis, hanya untuk menutupi kesalahan harus keluar biaya begitu banyak (hal. 1).
Sebetulnya tak ada ruginya orang yang mengakui kesalahan. Justru, tegas Fajar, dengan mengakui kesalahan, seseorang telah jujur dengan dirinya sendiri, sebuah sikap mulia di sisi Tuhan dan sesama. Dengan mengakui kesalahan ada kesadaran untuk tidak lari dari kenyataan, tetapi menghadapi kenyataan itu dengan segala konsekuensi yang harus ditanggungnya. Krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini antara lain karena orang tak lagi jujur dengan dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain. Jujur terhadap diri sendiri dapat dimulai dengan mengakui kesalahan, setelah itu meminta maaf. Ini sikap yang mulia (hal. 3).
Pada sisi yang lain, orang yang dimintai maaf mesti memaafkan kesalahan itu. Sebagaimana tidak sedikit orang yang enggan mengakui kesalahan, banyak juga orang yang enggan memaafkan kesalahan orang. Apalagi, menurut Fajar, jika kesalahan itu dirasakan sangat besar dan berat. Terkait dengan harga diri, reputasi dan nama baik keluarga. Bukannya memaafkan, terkadang malah marah, sakit hati, benci hingga dendam yang tertanam di dalam hati. Lalu, berpikir dan mencari-cari cara untuk membalas (hal 25). Mengutip Alquran, Fajar mengatakan bahwa orang yang mampu memaafkan adalah ciri orang bertakwa. Juga mengutip kata Nabi, bahwa orang yang bisa memaafkan saat ia punya kesempatan untuk membalas, Tuhan akan memaafkan kesalahannya di akhirat (hal. 27).
Karakter dan kualitas manusia juga dapat dilihat dari apa yang diucapkan. Seperti dikatakan Fajar, orang yang beriman kepada Tuhan akan selalu menjaga ucapan. Ia tidak akan suka mengumpat, mengutuk, berkata keji dan mengucapkan kata-kata kotor. Ia akan selalu mengontrol dan menjaga lisannya dari kata-kata tidak baik, baik itu di dunia nyata maupun maya (internet) (hal. 62). Di media-media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau yang lainnya, kita bisa saksikan betapa berhamburannya kata-kata kotor, caci-maki, hujatan, hingga fitnah, tanpa bisa dikendalikan. Orang beriman sejati selalu menjaga lisan untuk digunakan dalam kebaikan. Ucapan sesungguhnya adalah cerminan hati. Hati yang baik, kata Fajar, akan mengeluarkan kata-kata yang baik. Sementara hati yang buruk akan mengeluarkan kata-kata yang buruk juga (hal. 63).
Banyak pesan-pesan positif lainnya dalam buku ini. Dengan penggalian yang dalam dari sumber-sumber literatur ulama klasik yang otoritatif dalam sejarah Islam, lalu diramu dan disajikan dengan bahasa yang renyah dan lugas tanpa menggurui, kita diajak untuk merenungkan kembali tentang diri kita dalam relasi dengan Tuhan dan terutama dengan sesama. Buku ini mendorong dan memotivasi kita untuk menemukan diri kita sendiri, lalu mendorong dan menggugahnya untuk keluar dari pribadi yang buruk menjadi baik dan lebih baik lagi. Menjadi pribadi yang punya karakter kuat dan berkualitas tinggi dengan berpegang teguh pada etika luhur yang diajarkan oleh agama, dalam segala ucapan dan tindakan. Tuhan tidak melihat pada penampilan fisik, tetapi pada hati yang bersih dan moralitas manusia dalam kehidupan sosialnya. Menarik disimak.
*Nur Faridah
Penulis : Fajar Kurnianto
Penerbit : Quanta
Cetakan : I, 2017
Tebal : viii+296 halaman
ISBN : 978-602-04-1095-1
SETIAP agama mengajarkan kebaikan dan bertujuan menjadikan manusia sebagai makhluk yang baik; pada ucapan, perilaku, tindakan maupun yang lainnya dalam kehidupan sosial. Menurut pandangan agama, orang yang baik adalah orang yang punya karakter kuat dan kualitas yang tinggi dan mumpuni. Karakter dan kualitas ini hanya akan terbentuk ketika segala ucapan, perilaku dan tindakannya berdasarkan etika atau moral yang luhur sebagai pancaran dari ajaran agama yang mulia di sisi Tuhan.
Dalam buku ini, Fajar Kurnianto, berbicara soal karakter dan kualitas manusia dari sisi ajaran Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan atau fundamen dasarnya. Etika yang membentuk manusia menjadi makhluk yang berkarakter kuat, tidak menjadi orang lain, tetapi menjadi diri sendiri. Tidak terombang-ambing oleh situasi buruk di sekitarnya, tetapi kukuh dengan prinsip yang dipegangnya. Serta etika yang membentuk manusia menjadi makhluk berkualitas yang menjadi teladan baik bagi orang lain, dan menjadi pribadi yang bermanfaat, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Etika Islam, seperti ditegaskan Fajar, bukanlah sekadar diucapkan, tetapi dilakukan. Dengan itu, keutamaan atau manfaatnya dapat dirasakan secara nyata. Sebagai contoh, Fajar misalnya mengulas perihal mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Banyak orang yang bersalah, baik itu terhadap Tuhan maupun terhadap sesama, tetapi tidak banyak yang mau mengakui kesalahan, malah terkadang berusaha menutup-nutupi kesalahan atau mencari-cari cara agar kesalahan yang dilakukan tampak benar di mata orang lain. Untuk semua itu, tak sedikit biaya dikeluarkan. Betapa ironis, hanya untuk menutupi kesalahan harus keluar biaya begitu banyak (hal. 1).
Sebetulnya tak ada ruginya orang yang mengakui kesalahan. Justru, tegas Fajar, dengan mengakui kesalahan, seseorang telah jujur dengan dirinya sendiri, sebuah sikap mulia di sisi Tuhan dan sesama. Dengan mengakui kesalahan ada kesadaran untuk tidak lari dari kenyataan, tetapi menghadapi kenyataan itu dengan segala konsekuensi yang harus ditanggungnya. Krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini antara lain karena orang tak lagi jujur dengan dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain. Jujur terhadap diri sendiri dapat dimulai dengan mengakui kesalahan, setelah itu meminta maaf. Ini sikap yang mulia (hal. 3).
Pada sisi yang lain, orang yang dimintai maaf mesti memaafkan kesalahan itu. Sebagaimana tidak sedikit orang yang enggan mengakui kesalahan, banyak juga orang yang enggan memaafkan kesalahan orang. Apalagi, menurut Fajar, jika kesalahan itu dirasakan sangat besar dan berat. Terkait dengan harga diri, reputasi dan nama baik keluarga. Bukannya memaafkan, terkadang malah marah, sakit hati, benci hingga dendam yang tertanam di dalam hati. Lalu, berpikir dan mencari-cari cara untuk membalas (hal 25). Mengutip Alquran, Fajar mengatakan bahwa orang yang mampu memaafkan adalah ciri orang bertakwa. Juga mengutip kata Nabi, bahwa orang yang bisa memaafkan saat ia punya kesempatan untuk membalas, Tuhan akan memaafkan kesalahannya di akhirat (hal. 27).
Karakter dan kualitas manusia juga dapat dilihat dari apa yang diucapkan. Seperti dikatakan Fajar, orang yang beriman kepada Tuhan akan selalu menjaga ucapan. Ia tidak akan suka mengumpat, mengutuk, berkata keji dan mengucapkan kata-kata kotor. Ia akan selalu mengontrol dan menjaga lisannya dari kata-kata tidak baik, baik itu di dunia nyata maupun maya (internet) (hal. 62). Di media-media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau yang lainnya, kita bisa saksikan betapa berhamburannya kata-kata kotor, caci-maki, hujatan, hingga fitnah, tanpa bisa dikendalikan. Orang beriman sejati selalu menjaga lisan untuk digunakan dalam kebaikan. Ucapan sesungguhnya adalah cerminan hati. Hati yang baik, kata Fajar, akan mengeluarkan kata-kata yang baik. Sementara hati yang buruk akan mengeluarkan kata-kata yang buruk juga (hal. 63).
Banyak pesan-pesan positif lainnya dalam buku ini. Dengan penggalian yang dalam dari sumber-sumber literatur ulama klasik yang otoritatif dalam sejarah Islam, lalu diramu dan disajikan dengan bahasa yang renyah dan lugas tanpa menggurui, kita diajak untuk merenungkan kembali tentang diri kita dalam relasi dengan Tuhan dan terutama dengan sesama. Buku ini mendorong dan memotivasi kita untuk menemukan diri kita sendiri, lalu mendorong dan menggugahnya untuk keluar dari pribadi yang buruk menjadi baik dan lebih baik lagi. Menjadi pribadi yang punya karakter kuat dan berkualitas tinggi dengan berpegang teguh pada etika luhur yang diajarkan oleh agama, dalam segala ucapan dan tindakan. Tuhan tidak melihat pada penampilan fisik, tetapi pada hati yang bersih dan moralitas manusia dalam kehidupan sosialnya. Menarik disimak.
*Nur Faridah
Duta Masyarakat, 2 September 2017
Komentar
Posting Komentar