Metode CPIB Berantas Korupsi
KORUPSI masih menjadi problem berat pemerintah saat ini, seperti juga
sebelumnya. Namun, fakta ini seyogianya tidak menyurutkan semangat dan
optimisme untuk terus-menerus berjuang melawan korupsi.
Perlawanan terhadap korupsi sesungguhnya dilakukan banyak elemen masyarakat dan ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pemerintah sendiri, dengan keberadaan lembaga ad hoc Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada 2002 di era Presiden Megawati, hingga saat ini menjadi tumpuan masyarakat untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya.
Sejauh ini, KPK cukup berhasil memberantas korupsi meskipun belum maksimal. Menurut hasil riset Transparancy International (TI) 2016, skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di level 37, naik 1 poin dari tahun sebelumnya di level 36. Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara yang disurvei.
ntuk wilayah ASEAN, IPK Indonesia berada di peringkat keempat. Negara dengan IPK tertinggi di kawasan ini adalah Singapura dengan skor 84 dan berada di posisi 7 tingkat dunia. Kemudian, diikuti Brunei Darussalam diperingkat 2 dengan skor IPK 58, lalu Malaysia diperingkat 3 dengan nilai 49.
Di Asia Tenggara khususnya, Singapura adalah negara yang paling sukses dalam memberantas korupsi. Adanya pengawas di lembaga-lembaga pemerintah mendorong makin mengecilnya kemungkinan korupsi. KPK sendiri antara lain mengadopsi lembaga antikorupsi di Negeri Singa tersebut.
Namun, upaya pemberantasan korupsi di Singapura hingga berhasil sukses saat ini, tidaklah mudah. Jalan berliku, tajam, dan berbahaya telah dilalui dengan baik. Kebijakan negara kota ini ditetapkan dengan belajar dari pengalaman ketika negara itu masih berada di bawah kekuasaan Inggris, yang rentan korupsi.
Berawal dari Birokrat
Praktik korupsi di Singapura, seperti pula di Indonesia, diawali dari kalangan birokrat. Para pejabat hingga pegawai rendahan tidak asing dengan praktik-praktik korupsi dalam segala bentuknya, termasuk suap-menyuap. Akhirnya dibentuklah badan khusus pemberantasan korupsi dari kepolisian.
Sayangnya, badan ini pun tidak mampu mengatasi korupsi yang merajalela. Inilah cikal bakal berdirinya Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), suatu lembaga pemberantasan korupsi independen yang awalnya merupakan bagian dari kepolisian, tetapi kemudian menjadi lembaga sendiri yang independen, khusus menangani korupsi.
Para pemimpin Singapura memegang prinsip bahwa atasan adalah contoh bagi bawahan. Oleh karena itu, mereka berusaha tidak terlibat dalam keuangan dan dunia usaha. Parlemen memberikan dukungan dengan menetapkan Undang-Undang Antikorupsi yang ketat dan terperinci.
Setiap pejabat memiliki kadar hukuman tersendiri, sesuai tingkatannya. Pengawasannya pun disusun lengkap dan detail. Setiap badan negara memiliki pengawas korupsi sendiri. Bahkan, untuk badan legislatif pun dibentuk badan pengawas korupsi.
Pejabat negara yang terbukti korupsi langsung dicopot. Bila korupsinya diketahui saat sudah pensiun, seluruh jaminannya dicabut. Orang bersangkutan juga dilarang mengikuti pertemuan yang bersifat umum.
Selain diberikan sanksi, mereka juga didenda. Penerima dan pemberi suap di denda 100 ribu dolar Singapura (sekitar Rp500 juta) atau dipenjara maksimal 5 tahun. Jika yang melakukan korupsi anggota parlemen atau pejabat badan negara, sanksinya dinaikkan menjadi 7 tahun penjara.
Selain itu, mereka masih harus mengembalikan uang yang dikorupsi kepada negara. Pengadilan pun berhak menyita seluruh harta pelaku korupsi. Laporan adanya korupsi ke CPIB yang disampaikan warga negara dicatat. UU Antikorupsi langsung diterapkan pada pihak yang dilaporkan, sedangkan pelapor mendapatkan perlindungan keselamatan secara penuh.
Keberhasilan CPIB memberantas korupsi di Singapura tidak lepas dari beberapa kewenangan utama yang dimilikinya. Pertama, kewenangan penahanan; kewenangan ini menyatakan bahwa direktur Singapura atau penyidik khusus CPIB, tanpa surat perintah, dapat menangkap atau menahan setiap orang yang melakukan delik menurut Prevention of Corruption Act (PCA) atau mereka yang diadukan atau telah diterima informasi yang dapat dipercaya dengan dugaan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua, kewenangan penyidikan memberikan direktur CPIB atau penyidik khusus CPIB wewenang berkaitan dengan penyidikan setiap delik berdasarkan Criminal Prosedur Code (CPC).
Ketiga, kewenangan khusus penyidikan berarti ketika penuntut umum telah menyatakan suatu delik berdasarkan PCA telah dilakukan sehingga dapat memberi kuasa kepada direktur CPIB atau setiap perwira polisi, dengan pangkat minimal assistant superintendent atau penyidik khusus CPIB, untuk melakukan penyidikan dengan cara atau modus sesuai dengan yang tertera dalam surat perintah.
Keempat, kewenangan penggeledahan diberikan kepada penyidik khusus CPIB atau perwira polisi untuk memasuki tempat itu dengan paksa jika perlu menggeledah, menyita, dan menahan dokumen, benda, atau harta benda maksud. Alasan lainnya, jika perintah penggeledahan ditunda, benda yang digeledah akan hilang.
Kelima, kewenangan penuntutan dan perlindungan informan meliputi adanya persetujuan untuk melakukan tuntutan sesuai dengan Pasal 33 PCA. Untuk melindungi informan saksi tidak diwajibkan untuk mengungkap nama dan alamat seorang informan atau memberikan sesuatu pernyataan yang dapat menjurus kepada ditemukannya informan tersebut.
Kewenangan-kewenangan itu telah membuat CPIB menjadi lembaga yang kuat secara hukum. KPK sejatinya ingin dibuat seperti itu. Namun, seperti halnya CPIB Singapura pada masa-masa awal, KPK menghadapi dan memiliki banyak musuh, seperti dikatakan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu.
Musuh yang ingin merongrong dan berusaha melemahkan, hingga ingin membekukan KPK, dengan berbagai macam cara dan alasan. Dalam situasi ditekan dari banyak arah, KPK mesti selalu yakin bahwa rakyat selalu mendukungnya. Rakyat berharap KPK bisa seperti CPIB, membersihkan negara ini dari korupsi dan koruptor.
*Nur Faridah
Perlawanan terhadap korupsi sesungguhnya dilakukan banyak elemen masyarakat dan ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pemerintah sendiri, dengan keberadaan lembaga ad hoc Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada 2002 di era Presiden Megawati, hingga saat ini menjadi tumpuan masyarakat untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya.
Sejauh ini, KPK cukup berhasil memberantas korupsi meskipun belum maksimal. Menurut hasil riset Transparancy International (TI) 2016, skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di level 37, naik 1 poin dari tahun sebelumnya di level 36. Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara yang disurvei.
ntuk wilayah ASEAN, IPK Indonesia berada di peringkat keempat. Negara dengan IPK tertinggi di kawasan ini adalah Singapura dengan skor 84 dan berada di posisi 7 tingkat dunia. Kemudian, diikuti Brunei Darussalam diperingkat 2 dengan skor IPK 58, lalu Malaysia diperingkat 3 dengan nilai 49.
Di Asia Tenggara khususnya, Singapura adalah negara yang paling sukses dalam memberantas korupsi. Adanya pengawas di lembaga-lembaga pemerintah mendorong makin mengecilnya kemungkinan korupsi. KPK sendiri antara lain mengadopsi lembaga antikorupsi di Negeri Singa tersebut.
Namun, upaya pemberantasan korupsi di Singapura hingga berhasil sukses saat ini, tidaklah mudah. Jalan berliku, tajam, dan berbahaya telah dilalui dengan baik. Kebijakan negara kota ini ditetapkan dengan belajar dari pengalaman ketika negara itu masih berada di bawah kekuasaan Inggris, yang rentan korupsi.
Berawal dari Birokrat
Praktik korupsi di Singapura, seperti pula di Indonesia, diawali dari kalangan birokrat. Para pejabat hingga pegawai rendahan tidak asing dengan praktik-praktik korupsi dalam segala bentuknya, termasuk suap-menyuap. Akhirnya dibentuklah badan khusus pemberantasan korupsi dari kepolisian.
Sayangnya, badan ini pun tidak mampu mengatasi korupsi yang merajalela. Inilah cikal bakal berdirinya Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), suatu lembaga pemberantasan korupsi independen yang awalnya merupakan bagian dari kepolisian, tetapi kemudian menjadi lembaga sendiri yang independen, khusus menangani korupsi.
Para pemimpin Singapura memegang prinsip bahwa atasan adalah contoh bagi bawahan. Oleh karena itu, mereka berusaha tidak terlibat dalam keuangan dan dunia usaha. Parlemen memberikan dukungan dengan menetapkan Undang-Undang Antikorupsi yang ketat dan terperinci.
Setiap pejabat memiliki kadar hukuman tersendiri, sesuai tingkatannya. Pengawasannya pun disusun lengkap dan detail. Setiap badan negara memiliki pengawas korupsi sendiri. Bahkan, untuk badan legislatif pun dibentuk badan pengawas korupsi.
Pejabat negara yang terbukti korupsi langsung dicopot. Bila korupsinya diketahui saat sudah pensiun, seluruh jaminannya dicabut. Orang bersangkutan juga dilarang mengikuti pertemuan yang bersifat umum.
Selain diberikan sanksi, mereka juga didenda. Penerima dan pemberi suap di denda 100 ribu dolar Singapura (sekitar Rp500 juta) atau dipenjara maksimal 5 tahun. Jika yang melakukan korupsi anggota parlemen atau pejabat badan negara, sanksinya dinaikkan menjadi 7 tahun penjara.
Selain itu, mereka masih harus mengembalikan uang yang dikorupsi kepada negara. Pengadilan pun berhak menyita seluruh harta pelaku korupsi. Laporan adanya korupsi ke CPIB yang disampaikan warga negara dicatat. UU Antikorupsi langsung diterapkan pada pihak yang dilaporkan, sedangkan pelapor mendapatkan perlindungan keselamatan secara penuh.
Keberhasilan CPIB memberantas korupsi di Singapura tidak lepas dari beberapa kewenangan utama yang dimilikinya. Pertama, kewenangan penahanan; kewenangan ini menyatakan bahwa direktur Singapura atau penyidik khusus CPIB, tanpa surat perintah, dapat menangkap atau menahan setiap orang yang melakukan delik menurut Prevention of Corruption Act (PCA) atau mereka yang diadukan atau telah diterima informasi yang dapat dipercaya dengan dugaan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua, kewenangan penyidikan memberikan direktur CPIB atau penyidik khusus CPIB wewenang berkaitan dengan penyidikan setiap delik berdasarkan Criminal Prosedur Code (CPC).
Ketiga, kewenangan khusus penyidikan berarti ketika penuntut umum telah menyatakan suatu delik berdasarkan PCA telah dilakukan sehingga dapat memberi kuasa kepada direktur CPIB atau setiap perwira polisi, dengan pangkat minimal assistant superintendent atau penyidik khusus CPIB, untuk melakukan penyidikan dengan cara atau modus sesuai dengan yang tertera dalam surat perintah.
Keempat, kewenangan penggeledahan diberikan kepada penyidik khusus CPIB atau perwira polisi untuk memasuki tempat itu dengan paksa jika perlu menggeledah, menyita, dan menahan dokumen, benda, atau harta benda maksud. Alasan lainnya, jika perintah penggeledahan ditunda, benda yang digeledah akan hilang.
Kelima, kewenangan penuntutan dan perlindungan informan meliputi adanya persetujuan untuk melakukan tuntutan sesuai dengan Pasal 33 PCA. Untuk melindungi informan saksi tidak diwajibkan untuk mengungkap nama dan alamat seorang informan atau memberikan sesuatu pernyataan yang dapat menjurus kepada ditemukannya informan tersebut.
Kewenangan-kewenangan itu telah membuat CPIB menjadi lembaga yang kuat secara hukum. KPK sejatinya ingin dibuat seperti itu. Namun, seperti halnya CPIB Singapura pada masa-masa awal, KPK menghadapi dan memiliki banyak musuh, seperti dikatakan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu.
Musuh yang ingin merongrong dan berusaha melemahkan, hingga ingin membekukan KPK, dengan berbagai macam cara dan alasan. Dalam situasi ditekan dari banyak arah, KPK mesti selalu yakin bahwa rakyat selalu mendukungnya. Rakyat berharap KPK bisa seperti CPIB, membersihkan negara ini dari korupsi dan koruptor.
*Nur Faridah
Lampung Post, 26 September 2017
Komentar
Posting Komentar