Beragama dengan Mencintai Sesama
BERAGAMA tanpa cinta bisa berbuah petaka dan prahara. Cinta di sini bukan cinta
eksklusif, yang hanya mementingkan atau di lingkaran kelompoknya sendiri,
melainkan cinta inklusif: cinta pada kemanusiaan tanpa memandang anasir-anasir
perbedaan. Dalam cinta inklusif, kita menyadari bahwa kita hidup dalam dan
dengan perbedaan. Indonesia adalah tanah keberagaman. Para pendiri negara ini
sedari awal sudah menyadarinya, sehingga menetapkan slogan “Bhinneka Tunggal
Ika” dalam falsafah Pancasila: berbeda-beda, namun tetap satu.
Kebhinekaan atau pluralitas di sini sengaja dikedepankan, karena demikianlah realitas Indonesia dulu dan kini yang perlu diwadahi dan dirawat bersama dengan semangat persatuan gotong royong oleh semua elemen yang ada, yang berbeda. Meski belum sepenuhnya berhasil, setidaknya upaya untuk mewadahi perbedaan telah dilakukan dan menjadi komitmen yang akan terus-menerus dirumuskan, diformulasikan, dikonsepsikan, dielaborasi, dan diimplementasikan dalam wujud kebijakan negara yang tidak diskriminatif dan tidak adil yang biasanya terdapat pada masyarakat yang di dalamnya ada suatu kelompok yang menjadi mayoritas di satu sisi, dan di sisi lain menjadi minoritas.
Cinta inklusif dapat membuahkan toleransi sejati, bukan toleransi main-main atau basa-basi. Toleransi yang mendorong, menegaskan dan mematrikan sikap menghormati dan menghargai perbedaan yang ada dengan lebih mengedepankan sisi-sisi persamaan daripada perbedaan. Perbedaan yang hanya dijadikan sebagai khazanah yang memperkaya perspektif, bukan sebagai senjata penghancur kesatuan dan kebersamaan. Perbedaan tidak sama sekali dienyahkan, tetapi dijadikan sebagai aset bangsa yang sangat berharga untuk diambil sari-sari positifnya kemudian disilangkan satu sama lain hingga melahirkan sesuatu yang baru yang lebih berkualitas dan produktif.
Pada titik ini, konsep hibriditas atau perkawinan silang menjadi relevan dikembangkan. Melalui hibriditas dapat dibangun apa yang disebut Homi Bhabha sebagai “Ruang Ketiga” (Third Space), yang memampukan posisi-posisi lain tumbuh. Ruang ini, kata Bhabha membentangkan medan untuk mengembangkan ruang strategi kedirian (selfhood)—singular atau komunal—yang memperkenalkan tanda-tanda identitas baru dan ruang kolaborasi dan perlombaan yang inovatif, dalam tindak mendefinisikan gagasan tentang masyarakat sendiri.
“Ruang Ketiga” dalam konteks hubungan antaragama yang berbeda-beda ini, meminjam pemikiran John D. Caputo dalam bukunya, On Religion (2001), adalah “agama tanpa agama” atau “agama cinta”. Agama, kata Caputo, adalah cinta-kasih Allah, yang hidup dan mengubah kehidupan ketika keadilan bergulung-gulung seperti air; dan hal itu disangkal ketika keadilan disangkal. “Mereka yang berkata ‘Aku mengasihi Allah’ dan membenci saudaranya, adalah pendusta” (1 Yoh 4: 2). Keadilan mengambil tempat di dalam dan di luar agama historis. Agama—dengan atau tanpa agama—tampil ketika ada orang yang mengasihi dan melakukan keadilan, yang mengasihi dan melayani Allah.
Dalam “Ruang Ketiga” ini, agama tidak lagi dilihat dari bentuknya yang formal-institusional yang cenderung rigid, tetapi dari sisi spiritual-fungsional yang fleksibel dan kontekstual di mana di dalamnya segala inti ajaran agama bertemu pada titik yang sama, menuju satu Tuhan yang sama (perrenial), Yang Mahakasih. Formalisasi dan institusionalisasi ajaran agama malah justru dapat memicu dan melahirkan radikalisme dan eksklusivisme beragama; merasa agama sendiri paling benar sementara agama lain salah dan sesat.
Spiritualisme agama yang bertitik pada Tuhan Yang Mahakasih menegaskan bahwa setiap agama sesungguhnya mengajarkan cinta kepada sesama manusia, bukan kekerasan, perseteruan, konflik atau pengrusakan terhadap apa pun, apalagi tempat-tempat ibadah atau ruang-ruang yang dianggap sakral dan sangat dihormati oleh penganut agama seperti yang kerapkali kita saksikan di negeri ini: rumah ibadah dibakar, disegel, dirobohkan, dan seterusnya. Juga pelbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama yang dilakukan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan atau bahkan berbeda agama.
Dalam Buddha misalnya kita temukan ajaran yang disebut dengan “metta” (kasih sayang dan cinta kasih). Buddha mengajarkan kita untuk memancarkan metta kepada semua makhluk tanpa kecuali. Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat (byapada).
Dalam Hindu dikenal ajaran yang disebut dengan “karuna”. Karuna berarti kasih sayang atau cinta kasih. Hindu mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengembangkan sifat cinta kasih atau kasih sayang kepada siapa pun. Energi kasih merupakan energi positif yang memiliki tingkat yang sangat tinggi, jauh di atas energi yang dihasilkan oleh rasa kebencian. Energi kasih yang terpancar akan sanggup menetralkan energi-energi negatif, baik yang ada dalam tubuh kita, maupun energi negatif yang ada di sekitar kita.
Problem hubungan antaragama dan antarkeyakinan di negeri ini, yang sebagian masih sarat dengan konflik dan permusuhan yang kemudian menjurus pada tindak-tindak kekerasan dan intoleransi sesungguhnya disebabkan oleh eksklusivisme pemahaman agama yang membuat pelakunya beragama tanpa cinta dan mudah sekali terprovokasi, seperti rumput kering yang cepat terbakar. Agama tanpa cinta, maka yang ada adalah kebencian dan permusuhan. Ini ditambah lagi dengan motif dan kepentingan tertentu yang menunggangi dan memanfaatkan situasi demi keuntungan politik-ekonomi. Ibarat mengail di air keruh. Agama memang sesuatu yang sensitif, sehingga percik kecil bisa cepat membesar dan terkadang menelan korban jiwa dan kerusakan material.
Kekerasan dan konflik antaragama tidak akan timbul jika para penganut agama menjadikan cinta sebagai landasan utama kehidupan beragamanya. Cinta itu universal, tak mengenal batas. Beragama dengan cinta berarti menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di posisi tertinggi. Cinta kepada Tuhan sebagai inti agama dimanifestasikan dalam bentuk cinta kepada sesama. Dalam ungkapan Caputo, kita tak lagi mempertanyakan “apa” itu mencintai Tuhan, tetapi “bagaimana” mencintai Tuhan. Yang pertama adalah normatif, yang kedua adalah aplikatif: mencintai Tuhan adalah mencintai sesama manusia dengan sepenuh hati, tanpa kebencian, kedengkian, stereotip dan diskriminasi. Muara dari beragama dengan cinta adalah harmoni, dan ini yang diperlukan bangsa saat ini.
*Nur Faridah
Duta Masyarakat, 9 Agustus 2017
Kebhinekaan atau pluralitas di sini sengaja dikedepankan, karena demikianlah realitas Indonesia dulu dan kini yang perlu diwadahi dan dirawat bersama dengan semangat persatuan gotong royong oleh semua elemen yang ada, yang berbeda. Meski belum sepenuhnya berhasil, setidaknya upaya untuk mewadahi perbedaan telah dilakukan dan menjadi komitmen yang akan terus-menerus dirumuskan, diformulasikan, dikonsepsikan, dielaborasi, dan diimplementasikan dalam wujud kebijakan negara yang tidak diskriminatif dan tidak adil yang biasanya terdapat pada masyarakat yang di dalamnya ada suatu kelompok yang menjadi mayoritas di satu sisi, dan di sisi lain menjadi minoritas.
Cinta inklusif dapat membuahkan toleransi sejati, bukan toleransi main-main atau basa-basi. Toleransi yang mendorong, menegaskan dan mematrikan sikap menghormati dan menghargai perbedaan yang ada dengan lebih mengedepankan sisi-sisi persamaan daripada perbedaan. Perbedaan yang hanya dijadikan sebagai khazanah yang memperkaya perspektif, bukan sebagai senjata penghancur kesatuan dan kebersamaan. Perbedaan tidak sama sekali dienyahkan, tetapi dijadikan sebagai aset bangsa yang sangat berharga untuk diambil sari-sari positifnya kemudian disilangkan satu sama lain hingga melahirkan sesuatu yang baru yang lebih berkualitas dan produktif.
Pada titik ini, konsep hibriditas atau perkawinan silang menjadi relevan dikembangkan. Melalui hibriditas dapat dibangun apa yang disebut Homi Bhabha sebagai “Ruang Ketiga” (Third Space), yang memampukan posisi-posisi lain tumbuh. Ruang ini, kata Bhabha membentangkan medan untuk mengembangkan ruang strategi kedirian (selfhood)—singular atau komunal—yang memperkenalkan tanda-tanda identitas baru dan ruang kolaborasi dan perlombaan yang inovatif, dalam tindak mendefinisikan gagasan tentang masyarakat sendiri.
“Ruang Ketiga” dalam konteks hubungan antaragama yang berbeda-beda ini, meminjam pemikiran John D. Caputo dalam bukunya, On Religion (2001), adalah “agama tanpa agama” atau “agama cinta”. Agama, kata Caputo, adalah cinta-kasih Allah, yang hidup dan mengubah kehidupan ketika keadilan bergulung-gulung seperti air; dan hal itu disangkal ketika keadilan disangkal. “Mereka yang berkata ‘Aku mengasihi Allah’ dan membenci saudaranya, adalah pendusta” (1 Yoh 4: 2). Keadilan mengambil tempat di dalam dan di luar agama historis. Agama—dengan atau tanpa agama—tampil ketika ada orang yang mengasihi dan melakukan keadilan, yang mengasihi dan melayani Allah.
Dalam “Ruang Ketiga” ini, agama tidak lagi dilihat dari bentuknya yang formal-institusional yang cenderung rigid, tetapi dari sisi spiritual-fungsional yang fleksibel dan kontekstual di mana di dalamnya segala inti ajaran agama bertemu pada titik yang sama, menuju satu Tuhan yang sama (perrenial), Yang Mahakasih. Formalisasi dan institusionalisasi ajaran agama malah justru dapat memicu dan melahirkan radikalisme dan eksklusivisme beragama; merasa agama sendiri paling benar sementara agama lain salah dan sesat.
Spiritualisme agama yang bertitik pada Tuhan Yang Mahakasih menegaskan bahwa setiap agama sesungguhnya mengajarkan cinta kepada sesama manusia, bukan kekerasan, perseteruan, konflik atau pengrusakan terhadap apa pun, apalagi tempat-tempat ibadah atau ruang-ruang yang dianggap sakral dan sangat dihormati oleh penganut agama seperti yang kerapkali kita saksikan di negeri ini: rumah ibadah dibakar, disegel, dirobohkan, dan seterusnya. Juga pelbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama yang dilakukan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan atau bahkan berbeda agama.
Dalam Buddha misalnya kita temukan ajaran yang disebut dengan “metta” (kasih sayang dan cinta kasih). Buddha mengajarkan kita untuk memancarkan metta kepada semua makhluk tanpa kecuali. Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat (byapada).
Dalam Hindu dikenal ajaran yang disebut dengan “karuna”. Karuna berarti kasih sayang atau cinta kasih. Hindu mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengembangkan sifat cinta kasih atau kasih sayang kepada siapa pun. Energi kasih merupakan energi positif yang memiliki tingkat yang sangat tinggi, jauh di atas energi yang dihasilkan oleh rasa kebencian. Energi kasih yang terpancar akan sanggup menetralkan energi-energi negatif, baik yang ada dalam tubuh kita, maupun energi negatif yang ada di sekitar kita.
Problem hubungan antaragama dan antarkeyakinan di negeri ini, yang sebagian masih sarat dengan konflik dan permusuhan yang kemudian menjurus pada tindak-tindak kekerasan dan intoleransi sesungguhnya disebabkan oleh eksklusivisme pemahaman agama yang membuat pelakunya beragama tanpa cinta dan mudah sekali terprovokasi, seperti rumput kering yang cepat terbakar. Agama tanpa cinta, maka yang ada adalah kebencian dan permusuhan. Ini ditambah lagi dengan motif dan kepentingan tertentu yang menunggangi dan memanfaatkan situasi demi keuntungan politik-ekonomi. Ibarat mengail di air keruh. Agama memang sesuatu yang sensitif, sehingga percik kecil bisa cepat membesar dan terkadang menelan korban jiwa dan kerusakan material.
Kekerasan dan konflik antaragama tidak akan timbul jika para penganut agama menjadikan cinta sebagai landasan utama kehidupan beragamanya. Cinta itu universal, tak mengenal batas. Beragama dengan cinta berarti menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di posisi tertinggi. Cinta kepada Tuhan sebagai inti agama dimanifestasikan dalam bentuk cinta kepada sesama. Dalam ungkapan Caputo, kita tak lagi mempertanyakan “apa” itu mencintai Tuhan, tetapi “bagaimana” mencintai Tuhan. Yang pertama adalah normatif, yang kedua adalah aplikatif: mencintai Tuhan adalah mencintai sesama manusia dengan sepenuh hati, tanpa kebencian, kedengkian, stereotip dan diskriminasi. Muara dari beragama dengan cinta adalah harmoni, dan ini yang diperlukan bangsa saat ini.
*Nur Faridah
Duta Masyarakat, 9 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar