Merindukan Elite Berjiwa Pahlawan
Banyak sekali para pejuang yang gugur sebagai pahlawan
dalam peperangan tersebut. Mereka kemudian dinobatkan sebagai pahlawan kusuma
bangsa. Mereka menjadi pahlawan karena mereka berani mati demi bangsa dan
negara. Mereka menjadi pahlawan karena rela mati demi masa depan bangsa dan Negara
agar tidak lagi dijajah oleh penguasa asing. Mereka menjadi pahlawan karena
rela mati demi masa depan bangsa yang kelak akan dikelola secara mandiri oleh
anak-anak bangsa sendiri.
Maka pahlawan dalam konteks tersebut jelas: orang yang
mati demi bangsa dan negara. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut
pahlawan sebagai: orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya
dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Di sini, kategori pahlawan
bukan hanya orang yang berjuang dengan gagah berani membela bangsa dan negara,
tetapi juga orang yang berani dan rela berkorban demi membela kebenaran.
Pahlawan adalah orang yang komitmen memperjuangkan dan membela kebenaran.
Dalam bahasa Inggris, pahlawan disebut “hero” yang
diberi arti satu sosok legendaris dalam mitologi yang dikaruniai kekuatan yang
luar biasa, keberanian dan kemampuan, ser ta diakui sebagai keturunan dewa.
Pahlawan adalah sosok yang selalu membela kebenaran dan membela yang lemah.
Dalam cerita perwayangan dikenal tokoh Arjuna dari Pandawa. Mereka dinilai
sebagai pahlawan yang membela kebenaran dari kebatilan. Pahlawan juga dipandang
sebagai orang yang dikagumi atas hasil tindakannya, serta sifat mulianya,
sehingga diakui sebagai contoh dan tauladan.
Setiap tahun, menjelang Hari Pahlawan, pemerintah
menganugerahkan gelar pahlawan kepada beberapa orang dengan kualifikasi
tertentu yang telah ditentukan secara matang oleh para ahli berdasarkan
pengajuan dari daerah-daerah. Pada masa Orde Baru, mereka yang dianugerahi
gelar pahlawan banyak berasal dari unsure militer atau orang yang gugur dalam
perang membela negara.
Seakan-akan ingin menunjukkan bahwa sejarah bangsa ini
tidak lepas dari peran vital militer semata. Pemerintah seperti ingin
melegitimasi “kekuasaan militer” di panggung sejarah nasional. Seolah-olah,
yang paling berjasa pada bangsa ini adalah kalangan militer saja.
Hal itu tentu saja tidak hanya mereduksi arti pahlawan,
tetapi juga mengarahkan memori dan imajinasi bangsa tentang sosok pahlawan
sebagai orang militer belaka. Diperingatinya tanggal 10 November sebagai Hari
Pahlawan dengan merujuk pada peristiwa peperangan dahsyat di Surabaya, dan
diperingati hingga hari ini menunjukkan hal tersebut. Bangsa dan negara seperti
“disusupi” semacam dogma bahwa pahlawan adalah sosok seperti kesatria yang
gugur di medan laga demi membela bangsa dan negara. Ini memang tidak salah,
tetapi mereduksi pahlawan hanya pada sosok-sosok tersebut tidak hanya
menunjukkan pada wawasan sejarah yang sempit, tetapi sarat dengan kepentingan
politis.
Dalam hal ini, kepentingan militer. KBBI sudah
menunjukkan bahwa pahlawan bukan sekadar dari orang militer atau yang lahir
dalam suatu peperangan kontak senjata. Inti atau jiwa kepahlawanan sesungguhnya
terletak pada “pembelaan” terhadap kebenaran. Dalam hal ini, setiap orang bisa
masuk kategori sebagai pahlawan jika ia membela kebenaran.
Tentu saja kebenaran yang sejati, bukan kebenaran
manipulatif yang sarat dengan kepentingan pribadi atau golongan. Lebih dari
itu, pahlawan sejatinya adalah orang yang berjuang dan membela kebenaran tanpa
pamrih selain pengabdian kepada kebenaran itu sendiri. Maka pahlawan yang
sejati sesungguhnya tidak akan pernah meminta atau menuntut diberi penghargaan
atau tanda jasa tertentu dari negara.
Bangsa dan negara saat ini sangat membutuhkan jiwa-jiwa
pahlawan yang sejati. Yakni, mereka yang rela berkorban dalam berjuang membela
kebenaran secara tulus tanpa pamrih. Kebenaran saat ini telah banyak
dicampakkan dan dihargai begitu murah. Uang dan kekuasaan telah menjadi penentu
kebenaran. Dengan uang, kebenaran bisa dibeli, dimanipulasi, diselewengkan atau
dibengkokkan demi menyelamatkan para pecundang dari jerat hukum. Bahkan, hukum
sendiri sudah bisa dibeli. Penegakan hukum juga bisa diatur dengan uang dan akses
kekuasaan. Tidak sedikit, misalnya, koruptor kelas kakap lepas dari jerat
hukum, atau dihukum tetapi hanya sebentar.
Seperti tidak ada jiwa-jiwa pahlawan dalam tubuh para
pemangku jabatan atau para pengelola negara; entah itu di eksekutif, yudikatif,
maupun legislatif. Para pemimpin berkuasa nyaris tanpa gagasan atau visi hendak
ke mana bangsa dan negara ini dibawa ke depan. Mereka lebih sibuk dengan
kepentingan pragmatis kekuasaan dan rela mengesampingkan kebenaran— bahkan
melecehkan dan mencampakkan kebenaran. Mereka handir “bak pahlawan” hanya dalam
momentum-momentum kampanye pemilu. Di depan massa seolah-olah seperti kesatria
dan pahlawan yang berada di garis depan membela kawula cilik.
Namun, setelah kekuasaan diraih, semua ditinggalkan. Jiwa-jiwa kepahlawanan
lenyap tak berbekas.
Jika dulu para pahlawan—bukan hanya dari kalangan militer
tetapi juga kalangan lain, seperti pendidik, akademis, hukum, dan seterusnya—
berjuang untuk bangsa dan negara, saat ini kita tidak mudah menemukan banyak
para pemimpin, elite pemerintah, birokrat, atau yang lainnya di lembaga-lembaga
negara melakukan perjuangan yang sama.
Betapa ironis, ketika bangsa dan negara ini diperjuangkan
oleh para pahlawan, tetapi sekarang banyak dikelola para pecundang. Mereka yang
tidak punya jasa, tetapi mendapat penghargaan. Mereka yang dengan sadar masuk
ke institusi-institusi negara, nyatanya dengan sadar pula mengorupsi uang
negara seperti tidak ada rasa bersalah sedikit pun, padahal tahu bahwa itu
adalah salah.
Momentum Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10
November mestinya bukan sekadar seremonial, tetapi dimaknai lebih jauh lagi
dalam konteks sekarang dengan kapasitas masing-masing. Pahlawan bukan hanya
orang yang berjuang di medan perang fisik demi membela bangsa dan negara dari
cengkeraman kekuatan asing. Pahlawan juga adalah mereka yang berjuang dan
membela kebenaran dan menciptakan kebaikan bagi lebih banyak orang dalam
bidangnya masing-masing.
Sepanjang pembelaan itu ditujukan dalam konteks tersebut,
seseorang layak disebut pahlawan. Negara ini jelas memerlukan jiwa-jiwa
pahlawan terutama dari para elite kekuasaan demi memajukan bangsa dan
melepaskannya dari derita panjang akibat ulah para pecundang yang jadi benalu
bagi bangsa dan negara.
*Nur Faridah
Investor Daily, 11 November 2017
Komentar
Posting Komentar